Kamis, September 16, 2010

BUDAYA KORUPSI: SEBUAH BENTUK MASALAH SOSIAL DI INDONESIA

A. Latar Belakang

”Beberapa Bupati dan Gubernur antri menunggu giliran diperiksa KPK” demikian bunyi sebuah headline surat kabar Metro Riau edisi 5 Juli 2007. Dari sinyalemen berita tersebut tampak bahwa budaya korupsi sudah semakin marak di Indonesia, termasuk di daerah Riau. Akhir-akhir ini masalah korupsi bukan lagi sebagai sebuah fenomena baru, bahkan setiap hari dalam berbagai media massa disajikan kasus-kasus penyelewangan dana yang dilakukan berbagai oknum, mulai dari lembaga eksekutif, legislatif, dan juga yudikatif.
Korupsi bukan hanya di pusat pemerintahan tetapi sekarang sudah merambah ke berbagai pelosok daerah, bahkan ke desa-desa. Buktinya banyak kepala desa, kepala sekolah yang dituntut mundur oleh warganya karena diindikasikan melakukan penyelewangan dana BLT, raskin, dana BOS, pungutan liar dan sebagainya.
Apakah korupsi sejak era reformasi semakin meningkat dilakukan masyarakat ?, bila kita amati di berbagai media massa yang melaporkan masalah korupsi, memang di era reformasi seperti sekarang ini intensitas laporan dan persidangan kasus-kasus korupsi semakin meningkat. Tetapi bukan berarti masalah korupsi baru muncul di era sekarang ini saja, tetapi sudah ada sejak era Orde Baru. Cuma bedanya ketika era Orde Baru kasus-kasus korupsi tidak terungkapkan secara murni dan jelas, karena peran media massa ketika itu masih tumpul dan kemampuan masyarakat untuk menyuarakannyapun terbatas.
Bila bercermin pada perkembangan sejarah bangsa Indonesia, sejak zaman dahulu negeri Indonesia dikenal sebagai negeri agraris. Sebagai negeri agraris maka sebagian besar rakyat Indonesia adalah sebagai petani. Dalam masyarakat petani di Indonesia, sebagaimana kita maklumi umumnya mereka adalah golongan masyarakat miskin.
Maka di alam kemerdekaan seperti sekarang ini muncullah dorongan yang amat kuat di tengah masyarakat kita untuk menaikkan taraf kehidupan dan memperbaiki status sosial; khususnya terdapat di kalangan para pemimpin. Selain pengaruh budaya konsumerisme, lingkungan sosial dan sebagainya mendorong perubahan pola hidup masyarakat di Indonesia. Tambahan pula, sebagai hasil daripada proses pendidikan yang lebih baik di zaman kemerdekaan ini, muncullah aspirasi-aspirasi materil, harapan dan ambisi-ambisi yang kuat untuk mengangkat diri.
Ketika era pembangunan mulai berlangsung di alam Orde Baru, semakin mendorong keinginan yang kuat dari sebagian besar bangsa Indonesia untuk merubah nasib dengan cara-cara yang radikal. Di tengah gejolak ambisi yang meluap-luap sedemikian itu tidak sedikit tokoh pemimpin yang dihinggapi obsesi untuk cepat menjadi makmur dan lekas menjadi kaya. Dengan segala daya dan upaya orang berlomba menduduki kursi pimpinan, untuk cepat menjadi kaya dan makmur, dengan cara yang paling mudah dan dengan biaya paling murah. Sehingga berkembang pola konsumsi mewah, tingkah laku menyeleweng untuk berkorupsi.
Korupsi sedemikian ini cepat berkembang, karena masa transisi itu mengandung banyak kelemahan di bidang hukum, sehingga memberikan banyak kesempatan bagi usaha-usaha penyelewengan dan perbuatan illegal. Setiap kesempatan, tiap jabatan dan fungsi formal, dipakai sebagai alat untuk memperkaya diri. Maka penyimpangan situasional berkembang menjadi endemis bahkan cenderung sistematis.

B. Tinjauan Pustaka.

Uang sering kali dianggap sebagai alat yang bersifat netral, bebas dari makna-makna sosial. Uang hanya merupakan alat transaksi pasar, yang merupakan satuan hitung dan bersifat obyektif, dalam penggunaannya uang tunduk pada aturan main pasar. Dalam perkembangannya uang saat ini bukan lagi sebagai instrumen alat pembayaran semata, melainkan juga sebagai komoditas yang dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk mendorong atas terjadinya perubahan social, bahkan uang dapat dijadikan sebagai alat kekuatan politik yang mampu mempengaruhi pihak lain, serta mampu membuat ketergantungan pihak lain terhadap mereka yang memiliki uang.
Bahkan uang dalam hubungannya dengan politik, ekonomi, hukum dan sosial kemasyarakatan berada pada pengaruh yang dominan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh dua sosiolog klasik Weber dan Simmel ,dalam buku yang ditulis Heru Nugroho (2001) dalam Risdayati (2004) bahwa : uang dapat dijadikan sebagai entrypoint untuk memahami proses rasional dalam masyarakat. Uang adalah sarana paling akurat untuk transaksi dan interaksi sosial ekonomi, akibatnya memiliki kemampuan mentransformasikan dunia sosial ke dalam “Problem aritmatik” ; bahkan Lebih lanjut ditegaskan bahwa uang merupakan sarana reifikasi paling murni karena kemampuan kalkulatifnya.
Atas pandangan di atas, apabila dikaitkan dengan perilaku masyarakat ada kecenderungan bahwa uang dapat mereduksi tindakan sosial ke dalam kalkulasi kuantitatif. Masyarakat kini tidak lagi cenderung bertanya apa dan bagaimana terhadap nilai uang dan makna-makna sosial, melainkan uang dapat difungsikan sebagai instrumen dalam membangun hukum pasar, baik perlakuannya antar individu, lembaga dengan individu, maupun antar lembaga.
Kecenderungan fungsi uang tersebut, apabila dikaitkan dalam teori Durkheim tentang uang dan fakta-fakta sosial (Nugroho, 2001) dalam Risdayati (2004) bahwa : Uang keberadaannya dalam masyarakat bersifat bebas dari motif-motif personal, obyektif bahkan memaksa terhadap individu. Esensi paling mendalam dari uang adalah kemampuan mempertukarkan berbagai obyek yang berbeda yang tidak terikat ruang dan waktu. Jadi uang melayani transaksi pasar yang impersonal dan mengekspresikan hubungan-hubungan ekonomi antar berbagai obyek dalam bentuk kuantitatif. Dengan uang dapat merubah seluruh perbedaan kualitatif menjadi kalkulasi aritmatik atau sistem angka-angka yang berpengaruh terhadap fakta-fakta sosial yang berkembang di masyarakat.
Senada dengan pandangan diatas menurut aliran sosiologi klasik, dari Marx dalam buku Sosiologi Uang ( Hugh dalziel duncan, 1997 dalam Risdayati, 2004) tentang fungsi uang yang menegaskan bahwa : Kemampuan uang dalam merubah fenomena sosial menjadi bentuk kuantitatif cenderung mengganggu dan mengacaukan seluruh aspek kehidupan sosial budaya. Marx mengamati bahwa uang sebagai instrumen yang obyektif mampu melenyapkan seluruh hubungan-hubungan subyektif antar obyek dan individu, dan mereduksi hubungan-hubungan personal ke dalam ikatan-ikatan instrumental yang kalkulatif.
Bertolak dari pandangan diatas, maka fungsi uang ternyata dapat menjadi penyekat hubungan sosial yang memiliki dimensi positif dan sebaliknya uang dapat berakibat pada dimensi negatif. Dalam kerangka tersebut, uang agar memiliki makna sosial yang kontrukstif secara alamiah, telah berlangsung suatu mekanisme hukum pasar, dimana akan berlaku suatu tatanan permintaan dan penawaran sebagaimana hukum ekonomi. Oleh karena demikian penting nilai uang, maka uang jadi diperebutkan dan sumber kekuasaan, kemewahan dan lain sebagainya.
Ditambah dengan masuknya arus kebudayaan “modern” di tanah air yang sangat menjunjung tinggi aspirasi materil dan kebudayaan uang, kebahagian hidup dinilai dengan standar uang. Maka uang mendominir segala pertimbangan; uang menjadi moral kebenaran. Muncullah kemudian kelompok Orang Kaya Baru. Muncul pula kelompok elite megah dengan kekayaan yang melimpah-limpah, sebagai hasil dari praktek-praktek koruptif. Maka koruptor-koruptor yang kaya raya, politisi yang berani ceroboh, pejabat yang korup baik yang sipil maupun yang berbaju uniform dan kaya raya, semua dipuja-puja dan dielu-elukan banyak orang. Tumpukan kekayaan dan kemewahan hidup tadi menjadi selendang penutup bagi praktek-praktek korupsinya.
Dalam kontek korupsi, sebenarnya tindakan ini termasuk dalam kategori penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial diartikan sebagai perbuatan yang abnormal dari kebiasaan umum (Ahmadi, 1987) dalam Marliana (2008). Tentang normal tidaknya perilaku menyimpang, pernah dijelaskan dalam pemikiran Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 1985) . Bahwa perilaku menyimpang (tidak bermoral) atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal. Dengan demikian perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat pada sesuatu perbuatan yang tidak disengaja. Jadi kebalikan dari perilaku yang dianggap normal yaitu perilaku nakal/jahat (tak bermoral) yaitu perilaku yang disengaja meninggalkan keresahan pada masyarakat, termasuk dalam kontek ini adalah masalah korupsi.

C. Analisis.

Korupsi merupakan benalu sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan, dan menjadi hambatan paling utama bagi pembangunan. Bahkan orang mengatakan, korupsi sudah menjadi salah satu aspek kebudayaan kita. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat, yang memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan politisi korup yang berlebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elite yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka juga menduduki status social yang tinggi.
Korupsi itu bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan sejak lahir, warisan); juga bukan merupakan warisan biologis. Tingkah laku kriminal itu bisa dilakukan oleh siapapun juga, baik wanita maupun pria; dapat berlangsung pada usia anak, dewasa ataupun lanjut umur. Tindak korupsi bisa dilakukan secara sadar ; yaitu difikirkan, direncanakan dan diarahkan pada satu maksud tertentu secara sadar benar. Namun bisa juga dilakukan secara setengah sadar; misalnya karena terpaksa untuk mempertahankan hidupnya.
Memang benar bahwa manusia itu bisa bebas berbuat menurut kemauannya. Dengan kemauan bebas dia berhak menetukan pilihan dan sikapnya. Untuk menjamin agar setiap perbuatan berdasarkan kemauan bebas cocok dengan keinginan masyarakat, maka manusia harus diatur dan ditekan, yaitu dengan hukum, norma-norma sosial, dan pendidikan. Hukum dan hukuman biasanya menyertai ancaman-ancaman pidana yang menakutkan, agar manusia merasa ngeri untuk berbuat korupsi dan tidak menyimpang dari pola kehidupan normal.
Di Indonesia, korupsi berkembang subur disegala bidang pemerintahan dan sector kehidupan. Rakyat kecil yang tidak memiliki alat pemukul guna melakukan koreksi dan memberikan sangsi, pada umumnya bersikap acuh tak acuh. Di satu pihak mereka sangat bangga dan takjub akan kemewahan dan cara hidup orang golongan “jet-set” dan para koruptor. Namun dibalik itu juga terdapat dongkol terhadap tingkah laku mereka yang berlebihan. Selanjutnya sikap rakyat menjadi semakin apatis dengan semakin luasnya praktek-praktek korupsi oleh pejabat local, regional maupun nasional.
Tanggapan pemerintah terhadap korupsi juga cukup serius, sejak tahun-tahun 60an dilancarkan tim-tim pemberantasan korupsi, komisi empat dan OPSTIB (operasi tertib) pusat dan daerah. Perkembangan sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan yang baru ini memang memberikan banyak celah untuk berlangsungnya tidak korup, terutama korupsi materiil dari kelas-kelas social menengah dan tinggi. Namun jelas bagi kita, bahwa korupsi itu menjadi tanda pengukur bagi:
1. tidak adanya perkembangan politik yang efektif
2. tidak adanya partisipasi politik dari sebagian besar rakyat Indonesia khususnya rakyat miskin dan masyarakat di daerah pedesaan
3. tidak adanya badan hukum dan sanksi yang mempunyai kekuatan riil
Untuk memberantas korupsi yang sudah berurat berakar dalam sendi-sendi masyarakarat kita, diperlukan adanya partisipasi segenap lapisan rakyat. Tanpa partisipasi dan dukungan mereka, segala usaha, undang-undang dan komisi-komisi akan terbentur pada kegagalan. Beberapa saran diungkapkan disini, antara lain adalah:
1. Adanya kesadaran rakyat ikut memikul tanggungjawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional, kejujuran serta pengabdian pada bangsa dan negara.
3. para pemimpin dan pejabat memberikan teladan yang baik dengan mematuhi pola hidup sederhana, dan memiliki rasa tanggung jawab sosial.
4. adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberabtas, dan menghukum tindak korupsi. Tanpa kekuatan riil dan berani bertindak tegas, semua undang-undang, tim, komisi, dan operasi menjadi mubazir.
5. reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintahan, melalui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan-jawatan sebawahnya.
6. adanya sistem penerimaan pegawai berdasarkan prinsip achievement atau keteranpilan teknik. Dan bukan berdasarkan norma ascription. Sehingga memberikan keluasaan bagi berkembangnya nepotisme.
7. adanya kebutuhan pada pegawai-pegawai negeri yang non politik, demi kelancaran administrasi pemerintah. Ditunjang oleh gaji yang memadai bagi para pegawai, dan ada jaminan masa tua, sehingga bertukarlah kecenderungan untuk melakukan korupsi.
8. menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur, kompleksitas hierarki administratif harus disertai disiplin kerja yang tinggi.
9. sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok, dengan pengenaan pajak yang tinggi. Kekayaan yang statusnya tidak jelas dan diduga menjadi hasil korupsi, disita oleh negara (Marliana, 2008)

D. Kesimpulan

Ringkasnya, tindak korupsi itu merupakan tindak pidana yang sangat merugikan bangsa dan negara. Selain itu menjadi hambatan utama pada pembangunan. Salah satu tugas negara ialah menghadapi bahaya-bahaya subversi dan ancaman dari luar dengan sarana angkatan bersenjata. Maka tugas lainnya yang teramat penting ialah: mampu menyusun kekuatan riil untuk menanggulangi bahaya dari dalam, salah satunya ialah korupsi.

TANAH SEBAGAI MODAL DAN JAMINAN SOSIAL

1. Pengantar.

Konflik masalah tanah seakan melekat dalam tata kehidupan manusia. Tanah, sampai kapanpun akan menjadi komuditas menarik yang bukan saja bernilai ekonomi tapi juga sosial. Dalam tataran sosiologi seringkali penguasaan tanah dijadikan indikator strata sosial dalam suatu masyarakat (Saad, 1985). Sehingga tidak jarang konflik mengiringi kepemilikan atas penguasaan tanah. Bahkan untuk memiliki atau mempertahankannya bisa terjadi korban jiwa. Hal itu bisa terjadi antara rakyat dan negara, antar tetangga antar teman bahkan antar saudara.
Tentu konflik tersebut akan menarik perhatian umum bila sudah bersifat kolektif. Masih lekat dalam ingatan kita dalam media massa akhir-akhir ini kasus penggusuran di Jakarta dan kota-kota lain. Di mana mereka dengan mengatas namakan rakyat menduduki tanah yang dianggapnya tidak bertuan atau mereka minta ganti rugi karena sudah mereka bangun dan ditempati sekian lama.
Konflik tersebut akan semakin menarik perhatian publik, baik local, nasional maupun internasional bila sudah menimbulkan korban jiwa atau kerusakan alam. Seperti yang terjadi di beberapa wilayah hutan dan perkebunan di Jatim, Kalimantan Timur, Riau dan Jambi akibat konflik kondisi alam jadi rusak berat. Bagaimana tidak, yang tadinya hutan kini berubah tanah gersang dan panas. Begitu pula, tidak sedikit perkebunan, baik kopi, coklat, kelapa sawit, dan karet yang juga bernasib sama.
Tapi memang konflik tanah tersebut tidak bisa dijeneralisasikan, dengan mengkalim sebagai tindak penjarahan tapi harus dilihat kasus per kasus. Ada kasus tanah yang sifatnya memang murni untuk menuntut balik hak nya atas tanah yang telah lama hilang. Namun ada pula pendudukan secara paksa, kendati secara histories tidak ada ikatan kepemilikan. Namun apapun bentuknya tindakan represip terhadap mereka akan menimbulkan kontroversial.
Harus diakui bahwa selama ini konflik tanah selalu disikapi dengan pendekatan represif untuk menekan gejolak. Tindakan represif jelas melanggar HAM. Karena dalam keadaan apapun setiap orang berhak untuk hidup, tidak disiksa , persamaan hukum dan seterusnya. Jadi yang perlu digaris bawahi adalah kata kondisi apapun. Artinya dalam kondisi perangpun hak mereka harus dilindungi apalagi dalam kondisi damai. Gerakan radikal dari masyarakat terjadi tidak begitu saja, tapi ada pra kondisi. Perlu pula dipahami bahwa masyarakat itu terbentuk lebih dahulu baru kemudian terbentuk negara . Dan dalam masyarakat tradisional tersebut telah punya organisasi otonomi yang mengatur kehidupan mereka termasuk hak atas tanah.

B. Teori.

Kinerja modal memiliki prinsip, bagaimana mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya seefisien mungkin. Bisa jadi kinerja ‘modal’ pada hakekatnya adalah mesin uang atau sebagai pengganda kapital belaka. Kinerja ‘modal’ berhasil menumbuhkan kekayaan, akan tetapi hasil kekayaannya tidak dinikmati oleh semua orang. Inilah yang disebut bahwa modal menjadi hukum privat, maka wajar jika kinerja ‘modal’ mengelak dari peran sosial, karena peran sosial tidak ada korelasi langsung dengan kenerjanya. Kinerja ‘modal’ memilik prinsip bahwa kesejahteraan sosial adalah tanggung jawab organ publik (pemerintah).
Menurut Mahdy, (2005) Ada dua pemahaman terhadap ‘modal’: Pertama, ‘modal’ menjadi hukum privat, demi kepentingan kekayaan pribadi ( prinsip ekonomi). Kedua, ‘modal’ memiliki fungsi sosial. Persoalan sekarang adalah bagaimana pemerintah menjembatani dua pemahaman tentang ‘modal’ menjadi kesejahteraan bersama.
Pengertian modal sosial, dalam kajian ilmu-ilmu sosial kontemporer, terkait dengan perilaku kooperatif yang terorganisasikan secara horisontal, meski sering kali tidak formal, yang bisa mendorong pada adanya keteraturan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Di samping itu, dalam modal sosial ini terkandung pula hubungan saling mempercayai di antara warga masyarakat dan antara masyarakat dengan negara, bukan hubungan-hubungan dominasi dan otoritarianisme.
Konsep modal sosial telah menjadi pemahaman yang lebih penting dalam pembangunan ekonomi di zaman globalisasi seperti saat ini. Konsep ini, modal sosial perlu dipahami dalam kondisi:
1. Modal sosial harus dipertimbangkan dalam kaitannya dengan jaringan sosial
2. Modal sosial berkaitan dengan asosiasi institusi dalam pembangunan ekonomi lokal.
Bila bercermin dengan konsep modal sosial yang menekankan bahwa aspek komunitas, jaringan, asosiasi dann norma merupakan hal yang penting. Maka dalam kontek masalah tanah dapat dijadikan sumber modal sosial. Untuk menjelaskan hubungan masyarakat dengan sumber daya tanah yang merupakan lingkungan hidupnya, maka hubungan tersebut harus dilihat dari hubungan fungsional masyarakat dan lingkungan hidupnya.
Menurut Rajab (2005) mengutip Fukuyama, banyak juga pemerintah yang cakap dalam menghancurkan modal sosial. Umpamanya, bagaimana negara telah gagal memberikan dan melindungi hak-hak keamanan dan kepemilikan yang stabil kepada publik, sehingga mengakibatkan para warga negara tidak percaya bukan hanya pada pemerintah tapi juga saling tidak percaya di antara mereka sendiri dan menjadi sangat sulit untuk diasosiasikan. Pertumbuhan negara-negara kesejahteraan modern di Eropa Barat, sentralisasi fungsi-fungsinya, dan turut campurnya pada hampir seluruh perjalanan kehidupan warga negaranya cenderung melemahkan sosiabilitas spontan.
Sebagai contoh, misalnya seperti dilaporkan Hidir (2008), bahwa keadaan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan, maka masyarakatnya secara erat dan turun-temurun telah memanfaatkan lingkungan sebagai sumber sosial,ekonomi dan budayanya. Komunitas dan kebersamaan antar mereka dalam memanfaatkan sumber daya tanah tetap mereka pertahankan karena bagaimanapun juga tanah adalah sumber hidup mereka bersama. Dengan kata lain, tanah merupakan modal dan jaminan sosial mereka.
Namun ketika banyaknya pembangunan ke daerah mereka, maka komunitas desa semakin heterogen, norma berubah dan jaringanpun berubah sesama mereka. Dahulu struktur sosial masyarakat desa dimanapun bercirikan homogen, berlaku suatu nilai yang mengutamakan kesederhanaan dan persamaan. Ketika ma-suknya berbagai pembangunan dan penggusuran ke daerah mereka dan banyaknya kaum pendatang serta pertambahan penduduk, sehingga homogenitas mengarah pada diferensiasi. Hal ini akan mengancam modal sosial mereka dalam kontek persatuan atas penguasaan tanah. Maka tanah sebagai sumber modal sosial akan mengalami erosi maka kemudian yang muncul adalah konflik pertanahan (Hidir, 2008).

C. Analisis.
Dalam sejarah konflik pertanahan di Indonesia, bila kita melihat ke zaman kolonial, tanah-tanah tersebut banyak yang bergeser kepemilikan. Baik itu dirampas secara paksa, disewa maupun dibeli dengan harga murah (cultur stelsel). Diantaranya tanah-tanah tersebut banyak yang berubah menjadi perkebunan. Ketika zaman kemerdekaan, perkebunan tersebut bergeser kepemilikannya kepada negara. ( Hidir, 2008).
Di masa orde baru, rakyat masih belum berani melakukan gerakan. Karena waktu itu tekanan pemerintah terhadap setiap gerakan rakyat sangat kuat. Ketika era sudah berubah, euproria- pun melanda mereka (rakyat yang merasa punya hak tanah. Berubahlah dendam yang terpendam menjadi gerakan radikal.
Dalam UUD 45 pasal 33 ada kata menguasai tapi makna kata tersebut adalah hak untuk mengatur bukan memiliki. Memang dalam hal ini secara legal formal rakyat kalah karena surat-surat bukti kepemilikan tanah tidak dimiliki. Seharusnya gerakan radikal tersebut tidak harus dihadapi dengan tindakan represif tapi dengan melakukan konsolidasi hak atas tanah. Dalam hal ini negara maupun pihak yang merasa memiliki atas tanah (misal HPH, HTI, perkebunan) lebih dahulu harus menelusuri sejarah kepemilikan tanah, baru setelah itu dibuat ketentuan yang baru.
Memang hal ini tidak mudah, untuk itu sebaiknya mengembalikan fungsi tanah sebagai social capital. Artinya status tanah dirubah menjadi hak sewa kepada desa. Dan pembayarannya haruslah bersifat komunal, seperti pembangunan sarana publik, penyantunan fakir miskin ataupun anak yatim yang ada didesa tersebut.
Kepemilikan tanah pada masyarakat agraris tradisional sebetulnya telah cukup baik. Tapi sejak masa kolonial secara lambat laun hal itu terhapus hingga sekarang. Dalam masyarakat tradisional tanah punya fungsi social yang telah menjadi kesepakatan bersama. Seperti tanah punya fungsi Sengkeran dimana hasil dari tanah tersebut dimanfaatkan untuk acara bersih desa. Tanah titisara yang hasilnya untuk membantu fakir miskin dan anak yatim. Kemudian tanah guron yang dipergunakan untuk pendidikan. Tanah pangonan yang digunakan untuk ternak, tanah ganjaran untuk biaya hidup pamong desa, tanah cawisan yang digunakan untuk para tamu desa (Fakih dalam Hidir, 2008).
Tapi dalam perkembangan, fungsi tanah tersebut hilang yang ada tinggal tanah ganjaran. Itupun di perkotaan juga sudah menghilang seirig dengan digantinya kepala desa jadi lurah yang digaji pemerintah. Padahal tidak otomatis pergantian tersebut menjadikan kepemilikan tanah bergeser ke pemerintah. Inilah konflik yang kemudian marak muncul di perkotaan dan beberapa tempat lainnya.
Perlu dipahami pula bahwa tanah tidak hanya berdimensi ekonomi sehingga cukup diberi ganti rugi uang. Tanah juga punya dimensi religi, social maupun solidaritas yang menjadi sumber integrasi social. Selama ini mereka kehilangan sumber cultural maupun ruang imajenasi sehingga begitu datang era keterbukaan merekapun bergerak menuntut haknya.
Sementara itu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang selama ini menjadi benteng pertahanan terakhir kaum tani, secara substansial (misalnya land reform) sejak Orde Baru berkuasa tidak pernah dilaksanakan. Bila kita runtut ke belakang, ketika UUPA dilahirkan pada tahun 1960, suasana saat itu antimodal asing. Berbeda dengan saat ini, kehadiran modal asing sudah menjadi kebutuhan negara. Demikian pula, secara ideologis, tanah untuk petani yang diamanatkan dalam UUPA tidak lagi menjadi kenyataan, tetapi sudah menjadi objek spekulan dan komoditas.
Bahkan, pada fase kapitalisme global, tanah tidak lagi menjadi nilai guna tetapi berubah menjadi nilai tukar dalam bentuk saham -saham yang setiap saat dapat diperjualbelikan melalui pasar bebas.
Mau tidak mau, suka tidak suka, kini zaman sudah berubah. Para petani tidak lagi selalu berhadapan dengan tuan tanah, tetapi langsung dengan pemodal besar. Jika demikian, penetrasi kapital berskala global tak terbendung lagi yang pada akhirnya melahirkan proletarisasi besar-besaran..
Konsekuensinya, maraknya penetrasi kapital dengan berbagai bentuknya yang masuk ke pedesaan di Indonesia telah pula menimbulkan berbagai kemiskinan di pedesaan. Dampak lebih lanjut dikatakan oleh Poerwanto, bahwa kemiskinan di pedesaan seringkali diungkapkan sebagai akibat isolasi dan rusaknya sumber daya alam dengan berbagai sebabnya. Selain itu masuknya berbagai penetrasi kapital ke dalam masyarakat sekitar hutan (hutan) dapat mengancam keanekaragaman hayati yang ada.
Jika hutan tropis ditebangi bukan tidak mungkin akan banyak jenis tumbuhan yang berpotensi menjadi makanan di masa mendatang sudah punah lebih dulu. Pada hal masyarakat sekitar hutan ketergantungannya terhadap hutan masih sangat tinggi. Hutan yang sehat dapat meningkatkan mutu kehidupan, melestarikan nilai-nilai tradisional dan budaya dan memacu kebanggaan regional dan nasional sekaligus sebagai modal sosial kebersamaan mereka.
Sebenarnya generasi sekarang memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk melestarikan hutan bagi generasi mendatang. Hilangnya hutan bagi umat manusia bukan hanya berarti hilangnya kayu tetapi juga berkurang atau tidak ada lagi suplai air bersih dan lebih jauh lagi meningkatkan resiko banjir. Hilangnya serangga bisa menyebabkan berkurangnya panenan tanaman pangan yang penyerbukannya tergantung dari serangga.
Kenyataannya masyarakat desa sangat menghargai keragaman hayati karena ketergantungan mereka pada keragaman mahluk hidup sangat nyata. Mereka mengambil berbagai jenis buah yang bisa dimakan. Non masyarakat hutanlah sebenarnya yang paling banyak mengeksploitasi sumber daya alamnya, karena keterkaitannya secara langsung tidak pernah mereka rasakan.

Selasa, September 14, 2010

TINJAUAN MODAL SOSIAL SEBAGAI PEMBENTUK JAMINAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT

1. Pendahuluan

Banyak bukti yang dapat dilihat, betapa program-program pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini dan telah menghabiskan biaya relatif besar, namun kemudian kurang dapat bermanfaat secara optimal. Hal ini antara lain terjadi karena program-program tersebut sebenarnya kurang dibutuhkan oleh masyarakat dan hal di atas terjadi karena selama ini pemerintah menganggap bahwa pemerintahlah yang serba tahu dan masyarakat dianggap tidak mampu untuk mengurus hal-hal yang demikian. Ketidakmampuan itu tidak lain sebenarnya adalah karena kesalahan pemerintah dalam menempatkan masyarakat dalam pembangunan. Masyarakat ditempatkan pada posisi yang lemah yaitu sebagai objek pembangunan dan tidak dikembangkan dayanya agar menjadi kreatif sehingga mereka harus menerima keputusan yang sudah diambil.
Namun kemudian paradigma tersebut berubah, terutama setelah disadarinya oleh banyak orang bahwa segala sesuatu yang dipaksakan dari atas, tidak akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Apalagi bagi daerah Kabupaten/Kota dengan keluarnya UU N. 22/1999 dan UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberi kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, disamping itu Pemerintah Daerah ditantang oleh segenap komponen masyarakat untuk rnelaksanakan kepemerintahan yang baik.
Dalam kontek pembangunan masyarakat dewasa ini muncul konsep baru yang cukup mengemuka, yaitu konsep modal sosial. Dalam konsep ini pembangunan diupayakan untuk membangkitkan kembali partisipasi masyarakat.
Partisipasi masyarakat dimulai dengan menempatkan masyarakat tidak hanya sebagai objek pembangunan akan tetapi juga sekaligus sebagai subjek/ pelaku pembangunan. Dengan menempatkan masyarakat seperti ini, maka tumbuhlah daya kreatif dalam dirinya sehingga mereka sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka.

2. Telaah Pustaka.
Modal sosaial merupakan kekuatan yang mampu membangun masyarakat dan dapat menimbulkan pembangunan patisipatif dan mengandung nilai sosial. Mahdy (2005), mengilustrasikan modal sosial sebagai jalan untuk menciptakan pengharapan umum dan kejujuran dalam bentuk kesetaraan dan kemitraan sehingga tidak muncul perbedaan perlakuan antar warga. Modal sosial juga bisa diartikan sebagai pengetahuan bersama, saling memahami untuk dapat bekerja bersama-sama.
Untuk dapat melihat dan mengidentifikasi potensi modal sosial yang ada dalam suatu masyarakat (komunitas) maka terlebih dahulu harus diketahui elemen-elemen dari modal sosial (social capital) tersebut.
Coleman (1988) dalam badaruddin (2005) mendefinisikan modal sosial sebagai aspek-aspek dari struktur hubungan antar individu yang memungkinkan menciptakan nilai-nilai baru. Modal sosial berintikan elemen-elemen pokok, yaitu:
1. Saling percaya (trust), yang meliputi adanya kejujuran (honesty), kewajaran (fairness), sikap egaliter (egalitarianism), toleransi (tolerance) dan kemurahan hati (generosity);
2. Jaringan sosial (networks), yang meliputi adanya partisipasi (participations), pertukaran timbal balik, solidaritas, kerjasama, dan keadilan;
3. Pranata, yang meliputi nilai-nilai yang dimiliki bersama, norma-norma dan sanksi-sanksi, dan aturan-aturan (Badaruddin, 2005).
Dari elemen-elemen pokok modal sosial tersebut, maka dapat diidentifikasi beberapa potensi modal sosial yang ada dalam komunitas. Potensi modal sosial tersebut terwujud dalam bentuk kelembagaan, baik yang masih eksis maupun yang sudah tidak eksis lagi dalam komunitas.
Sementara itu pengertian modal sosial, dalam kajian ilmu-ilmu sosial kontemporer, terkait dengan perilaku kooperatif yang terorganisasikan secara horisontal, meski sering kali tidak formal, yang bisa mendorong pada adanya keteraturan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Di samping itu, dalam modal sosial ini terkandung pula hubungan saling mempercayai di antara warga masyarakat dan antara masyarakat dengan negara, bukan hubungan-hubungan dominasi dan otoritarianisme.
Dalam rumusan Robert D. Putnam (Mahdy, 2005), modal sosial menunjuk pada ciri-ciri organisasi sosial yang berbentuk jaringan-jaringan horisontal yang di dalamnya berisi norma-norma yang memfasilitasi koordinasi, kerja sama, dan saling mengendalikan yang manfaatnya bisa dirasakan bersama anggota organisasi. Dalam konteks ekonomi, jaringan horisontal yang terkoordinasi dan kooperatif itu akan menyumbang pada kemakmuran dan pada gilirannya diperkuat oleh kemakmuran tersebut.
Modal sosial dalam bentuk asosiasi-asosiasi horisontal ini umpamanya berperan penting dalam mendukung kemajuan ekonomi pada komunitas

3. Pembahasan: Refleksi Beberapa Kasus.

3.1. Patron-Klien
Dilihat dari elemen-elemen pokok sosial (social capital), maka kelembagaan sosial ekonomi, yaitu hubungan patron – klien yang ditemui pada berbagai komunitas, merupakan salah satu potensi modal sosial yang ada. Meskipun tidak sepenuhnya elemen-elemen pokok modal sosial tersebut ditemui dan berjalan sebagaimana mestinya, tetapi sejumlah elemen sosial merupakan dasar bagi lahirnya kelembagaan patron – klien.
Sikap saling percaya (trust) sebagai salah satu elemen dari modal sosial merupakan salah satu dasar bagi lahirnya hubungan patron-klien. Adanya sikap saling percaya yang terbangun antara beberapa golongan komunitas merupakan dasar bagi munculnya keinginan untuk membentuk jaringan sosial (network), yang akhirnya dimapankan dalam wujud pranata (institutions), yang dikenal dengan pranata patron-klien (toke-anak buah)
Secara umum pranata patron-klien merupakan sebuah pranata yang lahir dari adanya saling percaya antara beberapa golongan komunitas baik nelayan maupun petani, yaitu:
1. Golongan pemilik modal yang di Kepulauan Riau dikenal dengan sebutan “toke”, yang berperan sebagai patron.
2. Golongan komunitas petani/nelayan yang tidak memiliki modal ekonomi tetapi memiliki modal lain, diantaranya keahlian dan tenaga.
Adanya saling percaya diantara beberapa golongan komunitas tersebut membuat mereka mampu membentuk jaringan sosial. Jaringan sosial tersebut terbentuk antar golongan yang berperan sebagai “patron” dan golongan yang berperan sebagai “klien”. Jaringan sosial juga terbentuk antar sesama golongan “klien”.
Fenomena pranata patron-klien merupakan hal yang umum ditemukan pada masyarakat agraris (baik pertanian maupun maritim). Persistensi kelembagaan patron-klien di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat agraris, menunjukkan bahwa kelembagaan patron-klien masih berfungsi sentral di tengah-tengah kemajuan masyarakat.

3.2. Arisan
Sampai saat ini arisan dapat dikatakan sebagai wujud aktifitas kemasyarakatan yang masih populer di wilayah indonesia, dalam realitasnya, arisan dilakukan hampir oleh semua lapisan masyarakat.
Berdasarkan hasil riset yang pernah dilakukan oleh Hotze Lont, (Pilo, 2007), arisan mudah berkembang, karena masyarakat terutama ibu-iu rumahtangga kesulitan mendapatkan akses kredit dari bank mapun lembaga keuangan lainnya. Dari sini dapat diambil suatu pengertian bahwa uang hasil arisan dinilai efektif untuk memenuhi kebutuhan (keuangan mendadak). Namun ada satu hal positif yang dapat diraih penyelenggaraan arisan, yakni adanya semacam disiplin kelompok yang dapat “memaksa” setiap anggotanya untuk menyimpan sehingga upaya tersebut bermanfaat untuk menolong pada saat salah satu anggotanya menghadapi krisis keuangan.
Setiap anggota berkewajiban menyetor sejumlah uang tanpa adanya perhitungan bunga, giliran ditentukan secara undian atau berdasarkan musyawarah anggota, jumlah pesertanya cenderung terbatas, dan tidak ada staf pengelola khusus. Sedangkan pertemuan acara arisan dilakukan ditempat salah satu peserta yang telah mendapat undian, dan biasanya tuan rumah menyediakan minuman dan makanan ringan bagi par peserta yang hadir.
Dengan demikian, pertemuan arisan merupakan ajang silaturahmi bagi peserta untuk kumpul-kumpul.
Arisan merupakan modal sosial yang semestinya ada dalam setiap masyarakat Kemampuan komunitas mendayagunakan modal sosial ini membuat penggunaan modal menjadi lebih efektif dan efisien sehingga memungkinkan terciptanya sistem pengelolaan yang berkelanjutan.
Dengan tidak mengecilkan arti modal lainnya dalam pengelolaan “arisan” uraian di bawah ini lebih menyoroti bagaimana bekerjanya modal sosial dalam pengelolaan “arisan”. Ada sejumlah faktor yang saling terkait yang menyebabkan pendayagunaan modal sosial dalam “arisan” dapat bertahan, diantaranya adalah :
1. Kemampuan Membangum Konsensus. Semua pengelolaan “arisan” yang dapat bertahan memperlihatkan fakta adanya kemampuan warganya untuk merumuskan konsensus bersama dalam menentukan cara pengelolaan “arisan”. Ketika konsensus akan dibuat, warga komunitas dihadapkan pada suatu keharusan untuk melakukan tindakan kolektif atau perilaku kerjasama kolektif Tindakan atau perilaku kerjasama kolektif itu dimungkinkan melalui cara paksaan atau sukarela atas dasar saling percaya. Konsensus bulat pada kasus “arisan” yang dapat bertahan ditandai oleh pilihan mereka pada yang kedua, yaitu tindakan kerjasama kolektif atas dasar sukarela dan saling percaya.
2. Kemampuan Menetapkan Tujuan. Suatu hal yang paling penting sejalan dengan terbangunnya konsensus membentuk “arisan” adalah kemampuan menetapkan tujuan yang ingin dicapai dari pembentukan “arisan” tersebut. Tujuan yang dimaksud tentu bukan saja hanya berupa sasaran terkumpulnya sejumlah uang yang ingin diraihnya nanti, tetapi suatu misi yang disepakati untuk diemban bersama warga komunitas yang dengan itu mereka terdorong untuk bekerjasama satu sama lain. Kekeliruan dalam menetapkan tujuan bisa berakibat pada runtuhnya komitmen warga komunitas untuk mendukung sistem pengelolaan “arisan” tersebut.
3. Kemampuan Membangun Jaringan Sosial Yang Kompak. Keputusan untuk membentuk “arisan”, menentukan tujuan, membangun sistem aturan main, dan lain sebagainya tidak ditetapkan dari atas (top down), tetapi diproses dari bawah (botton up) dengan melibatkan semua anggota dalam kedudukan yang setara. Pelibatan setiap orang di dalam komunitas dalam menentukan suatu tindakan kolektif yang akan dibuat merupakan bagian penting dari partisipasi masyarakat. Dengan pelibatan warga dalam jaringan sosial yang akan menjadi satuan sosial/organisasi lokal. Dengan kemampuan warga kolektif mengalihkan kepentingan ‘saya’ menjadi ‘kita’ terbangunlah kekompakan dan solidaritas antar warga.
4. Kemampuan Merajut Pranata. Dalam sistem “arisan” terkandung seperangkat aturan-aturan, norma-norma, dan sanksi-sanksi. Dalam kasus “arisan” yang dapat bertahan, ditandai oleh adanya ketegasan dalam menegakkan aturan dan norma-norma. Kemampuan suatu kolektif atau komunitas merajut aturan-aturan, merupakan prakondisi untuk mengembangkan pengelolaan arisan yang berkelanjutan. Aturan-aturan tersebut diperkuat pula oleh sistem norma dan nilai-nilai yang dianut bersama oleh warga komunitas, yang menjadi paduan moral bagi mereka dalam bertindak. Hal itu bersifat kontekstual dan dikreasi bersama oleh warga komunitas secara partisipasif. Dalam konteks negara, kepatuhan warga terhadap aturan-aturan yang ada biasanya bersifat satu arah, karena warga tidak disertakan dalam proses pembuatan aturan-aturan itu sehingga kepatuhan yang demikian biasanya dilandasi oleh suatu paksaan (coercion) melalui badan-badan negara yang diberi wewenang untuk itu.
5. Kemampuan Membangun Kepercayaan. Kepercayaan antar anggota dan antar anggota dengan pengurus “arisan” merupakan perekat kuat untuk terjalinnya kerjasama yang lebih baik. Anggota percaya kepada pengurus karena mereka jujur, bekerja sungguh-sungguh untuk kepentingan anggota (bukan untuk kepentingan pribadi atau sekelompok individu), dan menjaga kepercayaan itu ketika ditunjuk sebagai pengurus dalam musyawarah anggota. Beberapa faktor tersebut merupakan prasyarat agar modal sosial dapat lebih efektif dan efisien didayagunakan dalam bentuk kerjasama kolektif. Faktor tersebut menjadi prasyarat bagi suatu model alternatif kreasi modal sosial.

3.3. Koperasi.
Pranata koperasi merupakan potensi modal sosial juga untuk beberapa komunitas. Karena beberapa elemen pokok dari koperasi memenuhi kriteria modal sosial. Sikap dasar saling percaya merupakan elemen pokok dari koperasi. Sikap saling percaya ini membentuk jaringan sosial dalam bentuk partisipasi anggota terhadap keberlangsungan koperasi.
Pranata koperasi yang berhasil menjalankan seluruh unsur dari elemen modal sosial secara baik akan mampu menjadi kekuatan yang cukup potensial dalam menghadapi tekanan eksternal dalam jaminan sosial warganya.
Demikianlah kira-kira beberapa pola pengembangan modal sosial yang dapat dikembangkan dalam beberapa komunitas untuk menjamin kepentingan sosial warga masyarakat.

4. Kesimpulan.

Dari beberapa uraian di atas, maka kesimpulan yang dapat dibuat dari bahasan ringkas ini adalah:
1. Potensi modal sosial untuk jaminan sosial pada komunitas di Indonesia dapat dikembangkan antara lain, hubungan patron-klien, arisan, dan koperasi. Potensi modal sosial tersebut merupakan aset yang perlu dibangun untuk menumbuhkan kesadaran dan tindakan kolektif dalam menghadapi tekana struktural untuk keluar dari belenggu kemiskinan.
2. Arisan merupakan salah satu potensi modal sosial yang memanfaatkan elemen modal sosial secara efektif dan efisien, dan menunjukkan hasil yang sangat positif dalam arti sosial semakin kuatnya rasa solidaritas sosial dalam menghadapi kesulitan dan jaminan sosial.

5. Saran.

Sesuai dengan topik bahasan, maka saran yang diajukan dalam penulisan ini adalah:
1. Pengembangan dan kreasi modal sosial dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan alternatif bagi pembangunan, khususnya bagi upaya penanggulangan kemiskinan.
2. Pengembangan modal sosial diperlukan kolaborasi dengan lembaga lain. Hal ini dilakukan untuk penguatan internal, misalnya keterlibatan LSM, swasta, pemerintah dan berbagai pihak yang relevan.

Entri Populer

MARI BERGABUNG DAN DISKUSI YUK !!!

BAGI PENCINTA DAN PEMINAT SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI BOLEH MENGUTIP POSTING DI SINI. ASALKAN MENYEBUTKAN SUMBERNYA YA !!!

APA KOMENTAR ANDA DENGAN BLOG INI ?


Perkenalan

Suka duka jadi seorang antropolog lebih banyak sukanya, karena lebih banyak mengenal masyarakat dengan berbagai karakteristik dan keragaman mereka.


Siapa bilang mereka adalah masyarakat bodoh .......mereka justru adalah masyarakat yang pintar, arif terhadap lingkungan dan taat dalam menjalankan norma adat mereka.

Bekal ini digunakan untuk menyebarluaskan kearifan mereka di tengah masyarakat modern, yang katanya paling hebat. Tapi nyatanya.........???????

Potret Masyarakat Pesisir

Potret Masyarakat Pesisir

Pembangunan PLB

Pembangunan PLB

PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP POLITIK

1. Pengantar

Sejarah perkembangan partisipasi dan partai politik di Indonesia sangat mewarnai perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini sangat mudah dipahami, karena partai politik dan partisipasi politik merupakan gambaran wajah peran rakyat dalam percaturan politik nasional atau dengan kata lain merupakan cerminan tingkat partisipasi politik masyarakat. Romantika kehidupan partai politik sejak kemerdekaan, ditandai dengan bermunculannya banyak partai (multi partai). Secara teoritikal, makin banyak partai politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara. Banyaknya alternatif pilihan dan meluasnya ruang gerak partisipasi rakyat memberikan indikasi yang kuat bahwa sistem pemerintahan di tangan rakyat sangat mungkin untuk diwujudkan. Sebagaimana diketahui bahwa konflik memang sangat diperlukan untuk menumbuhkan kompetisi antarkontestan dan sekaligus menarik motivasi masing masing untuk melakukan koreksi, berbenah diri, dan mengejar ketinggalan dalam rangka memenangkan persaingan dalam merebut hati rakyat.

Pada gilirannya akan terjadi proses belajar dan proses pertumbuhan secara terus menerus menuju kearah lebih maju, lebih baik, dan lebih mensejahterakan rakyat. Namun bila kepentingan-kepentingan cenderung bersifat divergen dan kesadaran politik serta toleransi politik belum cukup memadai, maka banyaknya partai politik bisa menimbulkan keadaan makin meruncingnya perbedaan dan memperparah keruwetan, yang berimplikasi pada sulitnya manajemen politik untuk memelihara konflik pada tingkatan yang optimal. Dengan premis seperti itulah, maka pemerintah orde baru merasakan perlu untuk mereduksi partai politik agar menjurus ke dalam bentuknya yang lebih sederhana. Menurut jalan pemikirannya, tujuan yang ingin dicapai adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi makin berperannya partai politik di satu segi dan makin mudahnya pengendalian konflik dikala mencapai tingkatan yang dianggap membahayakan persatuan dan mengganggu jalannya pembangunan nasional pada segi yang lain. Oleh karena itulah, maka kemudian berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1975, partai politik yang semula jumlahnya cukup banyak direduksi menjadi tiga kekuatan politik saja, yaitu menjadi dua partai politik dan satu golongan karya (Golkar).

Patut diduga sebelumnya, bahwa rupanya upaya penyederhanaan partai politik lebih berat perkembangannya pada pengendalian konflik yang makin lama makin ketat dan melampaui batas toleransi yang sewajarnya bagi perkembangan partai politik. Pemerintah, terutama eksekutif makin kuat secara berlebihan dan partai politik makin lemah kekuasaannya sampai pada posisi yang tidak berdaya. Dalam kondisi seperti ini, jangankan dapat memainkan perannya untuk peningkatan partisipasi politik masyarakat, untuk bertahan hidup saja barangkali harus dengan bantuan pihak lain yang lebih memiliki kekuasaan. Implikasi selanjutnya, mudah diterka bahwa masyarakat dan rakyat tidak berdaya di satu sisi, dan kolusi, korupsi, dan nepotisme negatif merajalela tanpa hambatan dan makin lama makin tak terkendali.

Menyadari keadaan yang sangat distruktif bagi perkembangan negara dan bangsa, maka lahirlah gerakan reformasi yang tujuannya tidak lain untuk menghambat dan menghentikan proses dan praktik-praktik yang distruktif dan menggantinya dengan tatanan, proses, dan praktik-praktik yang konstruktif bagi perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara. Selanjutnya gerakan reformasi berubah bentuknya secara lebih sistematik menjadi agenda nasional. Sejalan dengan upaya reformasi yang merupakan agenda nasional yang kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Undang- undang No. 3 Tahun 1999, kehidupan kepartaian berubah kembali dengan kehidupan multi partai dan telah melahirkan 147 partai politik. Dengan mencermati uraian tersebut di atas, sangat mudah dimengerti bahwa ternyata sepak terjang peran partai politik sejak kemerdekaan sampai saat ini mengalami pasang dan surut dalam pembangunan bangsa khususnya peningkatan partisipasi politik masyarakat di dalam segenap aspek kehidupan pembangunan nasional. Peran partai politik yang bersifat pasang surut tersebut terutama dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat terlihat dalam pasang surutnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutment politik, dan sarana pengaturan konflik; karena keempat peran itu diambil alih oleh pemerintah khususnya eksekutif yang didukung oleh legislatif dan yudikatif.


2. Konsep Partai dan Partisipasi Politik.

Sistem politik demokrasi modern adalah sistem demokrasi perwakilan yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan partai politik. Di negara demokrasi, partai politik adalah suatu keniscayaan karena berkaitan erat dengan kemunculan lembaga-lembaga perwakilan sebagai sarana politik untuk mewujudkan aspirasi rakyat. Prinsip pemerintahan demokrasi, yakni "oleh rakyat" diwujudkan dengan adanya partai politik dan "dari rakyat" dapat diukur dari hasil pemilihan umum yang bersifat umum, langsung, bebas, rahasia, dan adil. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan tentang kemunculan partai politik.

  1. Teori kelembagaan. Teori itu menyatakan bahwa munculnya partai politik karena dibentuk oleh kalangan legislatif untuk mengadakan kontak dengan masyarakat.

  2. Teori situasi historis yang menyatakan bahwa adanya partai politik sebagai jawaban untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan oleh perubahan masyarakat secara luas berupa krisis legitimasi, integrasi, dan partisipasi.

  3. Teori pembangunan yang mengungkapkan bahwa kelahiran partai politik merupakan hasil produk modernisasi sosial ekonomi.

Selanjutnya kemunculan partai politik setidaknya memiliki lima fungsi politik yang sangat penting.

  1. Sarana sosialisasi politik di mana partai melakukan kegiatan dalam proses pembentukan sikap dan orientasi politik masyarakat.

  2. Sarana komunikasi politik, yakni peran parpol sebagai agen penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah.

  3. Rekrutmen politik di mana parpol melakukan seleksi dan pengangkatan individu atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peran dalam sistem politik.

  4. Pengelola konflik. Yaitu parpol berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara-cara dialog, menampung, dan memadukan aspirasi maupun kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik.

  5. Artikulasi dan agregasi kepentingan politik di mana parpol memiliki peran penting dalam menyalurkan aspirasi dan kepentingan pemilihnya.

Sekarang masalahnya adalah; sejauhmanakah keterlibatan masyarakat dalam kegiatan partai politik ?. Dan bagaimana pula bentuk partisipasi politiknya ?.

Untuk kasus dewasa ini, memasuki lembaga legislatif mau-tidak mau harus melalui partai politik. Keterlibatan dalam partai politik adalah juga bentuk dari partisipasi politik. Berbicara tentang keterlibatan atau partisipasi politik, tentu saja kita tidak dapat menghindarkan diri dari diskusi tentang partisipasi politik menurut disiplin ilmu politik. Mely G. Tan (1992) dalam Yulfita (1995) membedakan partisipasi politik dalam dua aspek, yaitu dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit berupa keikutsertaan dalam politik praktis dan aktif dalam segala kegiatannya, sedangkan dalam arti luas, berupa keikutsertaan secara aktif dalam kegiatan yang mempunyai dampak kepada masyarakat luas, mempunyai kemampuan, kesempatan, dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang mendasar yang menyangkut kehidupan orang banyak. Budiardjo (1981) menyatakan partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memiliki pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.

Kalau Huntington dijuluki sebagai bapaknya partisipasi politik, maka David Easton dapat pula dijuluki sebagai bapaknya teori sistem politik. Analisa teori sistem politik David Easton, memang paling mudah untuk dicermati - dalam kerangka sistem politik yang demokrasi, sebab alur pikirnya sangat sederhana, tetapi kegunaannya sangat luar biasa. Dalam teorinya yang sederhana, yakni ;

-->- input --> proses --> output -->-
|----------------------------------|
|
----------------------------------|
--<---------- Masyarakat ---------<--


Melihat proses tersebut di atas, dapat diasumsikan, seorang penguasa mengeluarkan (output) peraturan atau prundang-undangan, sampai di masyarakat, masyarakat bisa setuju atau sebaliknya tanggapanya (input), akan diproses kembali oleh sang penguasa untuk kemudian dikeluarkannya kembali peraturan yang dapat diterima oleh masyarakat. Dan demikian selanjutnya.

Dalam teori ini ada dua ciri pelaku partisipasi politik, yang membedakan seseorang berpartisipasi dalam politik, yakni :

  1. Yang dimobilisasikan

  2. Otonom
    Sikap politik pada kelompok pertama (yang dimobilisasikan), biasanya tampak orang tersebut sangat fanatik. Karena orang tersebut, hanya sok-sok an, sehingga yang ia tahu hanya berpihak, berpihak dan berpihak. Sedangkan strategi untuk memenangkannya - karena ia memang tidak paham, hanyalah melawan orang atau kelompok di luar dirinya, atau di luar kelompoknya.

Lain halnya dengan orang-orang yang mempunyai sikap otonom, biasanya mereka mengikutinya dengan seksama, menganalisanya, baik buruknya dari partai yang ingin ia dukung. Sehingga sikap otonom ini sangat sukar dipengaruhi untuk menjadi ugal-ugalan.

Pertanyaannya, siapakah diri Anda, apakah Anda kelompok pertama atau kedua?. Yang perlu kita ketahuai adalah, apakah kita sudah mempunyai kedewasaan berpolitik, atau belum?.

Khusus berkaitan dalam bidang partisipasi politik, menurut Rush dan Althoff (1983) untuk dapat melihat sejauhmana keikutsertaan seseorang dalam kegiatan politik dapat dilihat dari hierarki partisipasi politik yang dilakukannya. Hierarki partisipasi politik itu dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 1.1

Hierarki Partisipasi Politik



Menduduki Jabatan politik dan administratif



Mencari jabatan politik atau administratif



Keanggotaan aktif suatu organisasi politik



Keanggotaa pasif suatu organisasi politik



Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik



Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik



Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, kampanye dan sebagainya


Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum


Pemberian suara (voting)

Sumber: Rush dan Althoff, 1983


Masih menurut Rush dan Althoff (1983) hierarki partisipasi yang berupa tingkatan itu, bukanlah merupakan prasyarat bagi jenis partisipasi suatu tingkatan berikutnya, walaupun mungkin berlaku bagi tipe-tipe partisipasi tertentu. Kemudian dari skema itu tampak bahwa bila hierarki partisipasi politik semakin naik, maka semakin mengecil volumenya, ini artinya bahwa; jenis partisipasi semakin ke atas semakin sedikit jumlahnya untuk diikuti oleh setiap individu.

Kemudian selain itu, banyak teori dan pendapat dari para ahli politik dan sosial yang mengatakan; karakteristik sosial seseorang, seperti status sosial ekonomi, kelompok ras atau etnik, usia, seks dan agama, baik mereka hidup di kota atau di pedesaan, semuanya akan mempengaruhi partisipasi politiknya. Dengan demikian, faktor seks, pendidikan dan geografis (desa-kota) tampaknya juga sangat berpengaruh dalam bentuk partisipasi politik. Pendapat ini didukung oleh Almond dan Verba, yang pernah melakukan penelitian dengan membandingkan seks dan jenjang pendidikan di beberapa negara, hasilnya mereka menyimpulkan:


Tabel 1.1

Keanggotaan Organisasi Sukarela dilihat dari Seks dan Pendidikan


Karakteristik

AS

Inggris

Jerman

Italia

Meksiko

%

%

%

%

%

Pria

68

66

66

41

43

Wanita

47

30

24

19

15

Pendidikan dasar atau kurang

46

41

41

25

21

Sedikit pendidikan lanjutan

55

55

63

37

39

Sedikit pendidikan universitas

80

92

62

46

68

Sumber : Almond dan Verba, 1963


Kesimpulan dari kajian Almond dan Verba (1963) ini tampak bahwa; pria lebih cenderung menjadi anggota organisasi sukarela daripada perempuan, dan partisipasinya bertambah dengan pertambahan pendidikan. Almond dan Verba (1963) juga mencatat bahwa; status pekerjaan yang lebih tinggi pada umumnya melibatkan keanggotaan asosiasi sukarela, walaupun hubungannya tidak seerat antara pendidikan dan afiliasi.

Asumsi konservatif yang diungkap oleh Almond dan Verba (1963), Russett (1964) serta Rush dan Althoff (1983) ini yang menjelaskan bahwa partisipasi politik sangat tergantung pada status sosial ekonomi sebagaimana dikutip di atas telah dipatahkan dalam kasus perempuan buruh pabrik garmen PT. Tongkyung Makmur Abadi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Jakarta. Hasil penelitian disertasi Nurul Aini1 (61) ini memperlihatkan adanya partisipasi otonom dari buruh yang umumnya berstatus sosial ekonomi rendah. Menurut Nurul Aini dalam disertasi doktornya, mengatakan bahwa partisipasi politik muncul karena tekanan dan perlakuan tidak adil yang terus-menerus diterima dari pengusaha dan dilandasi kesadaran akan hak-hak yang harus diperjuangkan.

Bila asumsi hasil penelitian Nurul Aini itu benar maka kajian ini telah merontokkan asumsi konservatif lama tentang partisipasi politik yang selalu mengkaitkan dengan domisili desa-kota dan tinggi-rendahnya status sosial ekonomi.

Kemudian bila berbicara masalah partisipasi politik, partisipasi politik dapat diartikan sebagai keterlibatan (involvement) terhadap kehidupan politik yang diwujudkan dalam bentuk tindakan (action) dan dilakukan secara sukarela (voluntary). Dalam studi partisipasi politik, partisipasi politik juga seringkali didefinisikan sebagai tindakan —bukan keyakinan atau sikap— warganegara biasa, bukan elite politik, untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik, bukan suatu kelompok masyarakat keagamaan tertentu, dan dilakukan secara sukarela, bukan dipaksa.

Partisipasi politik bukanlah sejenis kepercayaan atau keimanan, tapi juga bukan sikap seseorang terhadap sesuatu. Partisipasi politik membutuhkan tindakan individu. Ia telah mencapai pada level psikomotorik seseorang yang diwujudkan dengan perbuatan, bukan lagi pada level kognitif dan afektif. Kemudian secara sederhana, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua:

  1. Partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga.

  2. Partisipasi secara non-konvensional. Artinya, prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri .

Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warganegara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.

Sementara bentuk partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya, menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas umum. Selain itu, partisipasi politik dapat pula mengambil bentuk yang aktif dan yang pasif; tersusun mulai dari menduduki jabatan dalam organisasi sedemikian rupa, sampai kepada memberikan dukungan keuangan dengan jalan membayar sumbangan atau iuran keanggotaan. Kegiatan pemberian suara dapat dianggap sebagai bentuk partisipasi politik aktif paling kecil (lihat gambar 1.1), karena hal itu menuntut suatu keterlibatan minimal, yang akan berhenti jika pemberian suara telah terlaksana.

Selain membicarakan masalah partisipasi politik aktif, ada baiknya juga perlu dijelaskan macam-macam alasan mereka tidak ikut serta dalam kegiatan politik. Ketidakikutsertaan mereka ini, dapat disebabkan oleh alasan yang berbeda-beda. Penyebab ketidakikutsertaan mereka ini dapat disebabkan:

  1. Apati (masa bodoh), secara sederhana diartikan sebagai tidak punya minat atau perhatian terhadap orang lain, situasi atau gejala-gejala disekitarnya. Mengapa mereka memiliki sikap apatis, paling tidak ada 3 alasan pokok untuk menerangkan adanya apatis:

    1. Adanya konsekuensi yang ditanggung dari aktivitas politik. Hal ini dapat mengambil beberapa bentuk: individu dapat merasa, bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai aspek kehidupannya. Umpamanya; aktivitas politik yang ia ikuti dikuatirkan akan dapat mengancam eksistensi keluarganya; posisi sosialnya akan terganggu atau rusak dan lain sebagainya.

    2. Adanya anggapan aktivitas politik yang dilakukannya hanya akan sia-sia saja. Sebagai individu tunggal ia tidak mampu mempengaruhi iklim politik, ia merasa bahwa kekuatan politik selalu berada di luar kontrol dirinya sehingga apapun yang ia lakukan dianggap hanya akan sia-sia saja.

    3. Kehidupan politik dianggap kurang begitu memuaskan, partisipasi politik dianggap sebagai hasil yang sama sekali tidak layak bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan kebutuhan materinya.

  2. Sinisme, seperti halnya apati, meliputi kepasifan dan ketidak aktifan relatif, merupakan satu sikap yang dapat diterapkan baik pada aktivitas maupun ketidak aktifan. Secara politis sinisme menampilkan diri dalam bentuk; perasaan bahwa politik itu kotor, menjadi politisi itu tidak dapat dipercaya dan lain sebagainya.

  3. Alienasi politik sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berfikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa, yang dilakukan oleh orang lain untuk orang-orang lain, mengikuti sekumpulan aturan-aturan yang tidak adil. Dianggapanyalah bahwa kegiatan politik yang dilakukan oleh penguasa hanya menguntungkan mereka saja, tetapi tidak bagi dirinya.

  4. Anomie, perasaan kehilangan nilai dan ketiadaan arah, dalam mana individu mengalami perasaan ketidak efektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak perduli yang mengakibatkan devaluasi daripada tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.


3. Kegunaan partisipasi politik dalam kehidupan sehari-hari

Khusus di bidang politik, masih ada anggapan bahwa dunia politik itu identik dengan dunia maskulin dan penuh intrik. Anggapan ini muncul akibat adanya “image“ yang tidak sepenuhnya tepat tentang kehidupan politik; yaitu bahwa politik itu kotor, keras, penuh intrik, dan semacamnya, yang diidentikkan dengan karakteristik laki-laki. Selain itu pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik juga cenderung masih rendah. Akibatnya, jumlah masyarakat yang terjun di dunia politik kecil, termasuk di negara-negara yang tingkat demokrasinya dan persamaan hak asasinya cukup tinggi. Sebenarnya partisipasi politik masyarakat sangat penting berkaitan dengan:

  1. Partisipasi politik masyarakat dapat diarahkan untuk mengubah keputusan-keputusan penguasa, juga menggantikan atau bahkan mempertahankan suatu kekuasaan.

  2. Dalam bentuk institusi, partisipasi politik dapat diarahkan untuk mengubah ataupun mempertahankan organisasi sistem politik yang sudah ada, beserta aturan-aturan permainan politiknya.

Selain apa yang dijelaskan di atas, ada beberapa faktor Pendukung dan Penghambat Terhadap Peran Partai Politik dalam Peningkatan Partisipasi politik Masyarakat. Faktor-faktor pendukung bagi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:

  1. Masih diterimanya Pancasila serta pembukaan UUD 1945 dan keinginan untuk mengamandemen UUD 1945 merupakan wujud kesadaran berpolitik yang berakar kepada demokratisasi;

  2. Masih berjalan dan kuatnya struktur politik dengan semakin mantapnya kearah demokratisasi;

  3. Makin tingginya kesadaran politik masyarakat, ditunjukkan dengan pelaksanaan pemilu yang berlangsung aman, langsung, umum, bebas dan rahasia; dan

  4. Masih tingginya atensi politik terhadap penyelenggaraan kepemimpinan nasional, menunjukkan sikap mengarah kedewasaan berpolitik.

Faktor-faktor penghambat bagi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:

  1. Masih kurang ditaatinya peraturan, perundangan tentang mengeluarkan pendapat dan berkumpul serta masih diragukannya RUU KKN walaupun sudah diperbaiki dan disempurnakan;

  2. Kurangnya dilaksanakan dalam sikap dan tindakan yang lebih mengutamakan kepentingna nasional, dapat mengakibatkan melesetnya arah ketujuan nasional;

  3. Proses demokrasi dengan partai yang sangat banyak dapat memungkinkan lambatnya proses politik;

  4. Kemenangan pro kemerdekaan di Timor Timor menyebabkan suhu politik semakin hangat, ditambah masalah Aceh dan Ambon yang belum tuntas menyebabkan elit politik menggunakan suasana tersebut untuk mendapatkan keuntungan bukan justru memecahkan permasalahan;

  5. Masih adanya ide sparatis yang justru timbul pada saat situasi politik dan ekonomi lemah, serta dihadapkannya TNI dan Polri dalam front politik serta keamanan yang sangat luas.

Sedangkan faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat dapat diidentifikasikan antara lain:

  1. Faktor Sosial Ekonomi ; Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.

  2. Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :

    1. Komunikasi Politik, antara pemerintah (parpol) dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika

    2. Kesadaran Politik, menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan.

    3. Pengetahuan Masyarakat terhadap Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil

    4. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu. Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik, kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat, untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan politik .

  3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik individu sebagai sumber kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaganya.

  4. Faktor Budaya, Budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, etika politik maupun teknik penerapannya. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.


4. PENUTUP.

Beberapa permasalahan penting yang sekiranya dapat diangkat sebagai suatu deskripsi indikatif yang merupakan titik-titik tegas dari keseluruhan substansi yang dibahas antara lain adalah:

  1. Peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat khususnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen, dan sarana pengatur konflik masih belum optimal. Dalam rangka untuk mengoptimalkan peran partai politik tersebut telah disampaikan konsepsi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat, antara lain melalui pembangunan sistem kehidupan yang demokratis dan stabil yang dijabarkan dalam strategi pengembangan partisipasi politik masyarakat dan pembenahan mekanisme hubungan antar komponen dalam sistem politik; dan dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk upaya restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik dan berbagai aspek yang terkait.

  2. Untuk menjamin berjalannya peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat secara optimal, diperlukan keselarasan dan keseimbangan hubungan antar kekuatan sosial politik dan keseimbangan serta keselarasan peran partai politik itu sendiri baik sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, maupun sebagai sarana pengatur konflik. Hal yang terakhir ini perlu digaris bawahi karena keempat peran tersebut pada hakikatnya saling terkait dan bersifat saling mendukung satu dengan yang lain.

  3. Prospek perkembangan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat sangat tergantung pada kondisi politik secara makro dan tingkat kedewasaan elit politik dalam memainkan perannya sebagai penggerak dan pengorganisasi komponen komponen politik dan kemasyarakatan. Tingkat kesadaran politik rakyat yang sudah cukup tinggi yang terrefleksi dari keberhasilan dalam pelaksanaan Pemilu secara jurdil, luber, dan aman; tidak boleh diposisikan pada situasi yang justru mengakibatkan berbaliknya ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik. Sebab hal itu akan sangat menyulitkan dalam upaya peningkatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat.

  4. Dalam rangka penguatan peran partai politik untuk peningkatan partisipasi politik masyarakat, harus didahului atau terlebih dahulu harus diberdayakan partai politik itu sendiri dalam kancah percaturan politik nasional dengan menempatkannya pada posisi yang kuat dan memiliki daya tawar yang cukup memadai. Caranya adalah dengan restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik baik yang menyangkut struktur, mekanisme, budayanya, serta kapasitasnya dalam melakukan fungsinya sebagai saluran komunikasi politik.


Daftar Rujukan.

Arbi Sanit, Ormas dan Politik, Lembaga Studi Informasi dan Pembangunan, Jakarta, 1995

Bruce M Russett, et al. World Bank Hand Book of Political and Social Indication, New Haven, Conn, 1964.

Gabriel A. Almond dan Sydney Verba, The Civic Culture, Princeton, 1963

Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, alih bahasa Kartini Kartono, CV Rajawali Jakarta, 1983

Morris Rosenberg, Some Determinant of Political Apathy, Public Opinion Quarterly, 1954 349-366

Samuel P Huntington dan Joan M.Nelson, Partisipasi Politik Tak Ada Pilihan Mudah, PT. Sangkala Pulsar, Jakarta, tanpa tahun.


1 Anonim, Status Sosial Ekonomi Tidak Pengaruhi Partisipasi Politik, Harian Kompas 2 Agustus 2002