Senin, Desember 14, 2009

KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DI INDONESIA

A. LATAR BELAKANG.
Pemerintah (baca = negara) sejak April tahun 2001 membentuk Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, yang ditujukan untuk menanggulangi masalah kemiskinan di Indonesia. Pembentukan lembaga ini juga sekaligus menunjukan bahwa semakin parahnya kondisi kemiskinan yang ada saat ini pasca krisis moneter (1997/1998) ditambah adanya krisis resesi dunia. Dibentuknya Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan oleh Negara itu (tahun 2001) paling tidak ada empat peranan yang harus dimainkan dari lembaga tersebut, yaitu sebagai koordinator, katalisator, mediator, dan fasilitator.
Sebagai koordinator, badan ini bertugas mengkoordinasi perumusan standar-standar dasar mengenai konsep kemiskinan yang digunakan oleh berbagai instansi di pusat dan daerah. Sebagai katalisator, badan ini berupaya memecahkan kendala-kendala utama dalam pelaksanaan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan. Sebagai mediator, badan ini diharapkan menjadi wahana untuk menampung beragam aspirasi. Sebagai fasilitator, badan ini mampu menjadi penghubung antara para donor dengan pelaku utama (SMERU 2002).
Sementara itu program-program yang telah dilaksanakan oleh negara (pemerintah) melalui instruksi presiden (inpres) yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat diantaranya: (a) Inpres Desa Tertinggal (IDT) dengan tujuan menciptakan kesetaraan desa dan menciptakan lapangan pekerjaan; (b) Inpres Kesehatan dengan tujuan adalah memberikan pelayanan kesehatan yang mudah dan murah untuk penduduk pedesaan; (c) Inpres Pendidikan dengan tujuan adalah memberikan layanan pendidikan yang gratis untuk pendidikan dasar sampai menengah; dan (d) Inpres Obat-Obatan dengan tujuan memberikan obat-obatan yang murah kepada masyarakat miskin.
Disamping inpres pemerintah juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tujuannya adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk pedesaan melalui: (a) Ketentuan Kredit Usaha Tani (KUT) untuk memudahkan petani mendapatkan modal; (b) Ketentuan mengenai Kredit Perbankan (Kredit Canda Kulak) untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mendapatkan modal diluar sektor pertanian; (c) Pembebasan pajak untuk hasil pertanian; (d) Subsidi atas pupuk dan obat-obatan pertanian, serta (e) Operasi beras murah dan beberapa program lainnya, (Tarumingkeng,2001)
Keberadaan program-program yang telah dilakukan, dengan harapan besar bahwa masyarakat miskin akan lebih berdaya, karena dengan banyaknya program masyarakat miskin akan teratasi kebutuhannya, melalaui sinkronisasi antara tujuan program dengan apa yang menjadi masalah masyarakat miskin. Untuk mengetahui permasalahan tersebut, maka harus lebih dulu mengetahui seluk beluk kelompok miskin melalui penggalian masalah di dalam masyarakat miskin (assesment).
Sementara itu posisi masyarakat miskin; mereka selain bertindak sebagai objek juga harus diperlakuan sebagai subjek di dalam pembangunan kesejahteraan sosial mereka. Inilah yang memunculkan paradigma baru, dimana orang miskin sebagai aktor dalam membangun kapasitas keberdayaan mereka sendiri. Maka dalam kontek ini ingin ditelaah sejauhmanakah peran negara mampu dan perduli untuk menyejahterakan kaum miskin ?

B. Masalah
Adanya anggapan bahwa kaum miskin merupakan aktor utama dalam perang melawan kemiskinan, sehingga upaya untuk menanggulangi kemiskinan, harus dimulai dengan mendorong kesadaran dari kaum miskin itu sendiri, untuk memperbaiki kehidupannya. Pendapat ini sudah lama diungkapkan oleh banyak pemerhati masalah sosial. Tetapi hal yang jauh lebih besar patut diperbincangkan adalah sejauhmana peran negara mampu menyejahterakan kaum miskin ?

C. Tujuan
Tulisan ini akan membahas sejauhmana peran negara dalam menyejahterakan masyarakatnya. Kontek dan bahasan tulisan diambil dari berbagai literatur yang ada tanpa melakukan kajian lapangan secara langsung. Selain itu tujuan tulisan ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Negara, Pasar dan Kesejahteraan Sosial Pada Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada.

D. Telaah Pustaka
Selama ini pendekatan kemiskinan di Indonesia dan indikatornya selalu beragam dalam perspektifnya. Terlepas dari beragam penafsiran dan indikator kemiskinan yang ada, seyogyanya dalam memahami masyarakat miskin maka perlu dikembangkan paradigma baru, yaitu: orang miskin merupakan aktor utama. Selanjutnya dalam memahami kemiskinan ada beberapa isu sentral yang menjadi fokus perhatian bagi penanggulangan kemiskinan untuk peningkatan kesejahteraan sosial di Indonesia, Beni (2002) menjelaskannya yaitu:
1. Upaya penanggulangan kemiskinan haruslah bersifat local spesific. Dengan maksud bahwa penanggulangan kemiskinan harus dapat dilaksanakan oleh pemerintah (negara sebagai pengemban amanat rakyat) dan masyarakat lokal sesuai dengan kondisi di daerah tersebut.
2. Upaya penanggulangan kemiskinan dalam era otonomi daerah harus diikuti dengan perbaikan faktor produksi melalui: (a) penetapan kebijakan “land-reform” melalui peraturan daerah; (b) terciptanya demokrasi ekonomi rakyat dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan; (c) terbentuknya lembaga keuangan mikro untuk membiayai usaha ekonomi rakyat; (d) perlunya partisipasi yang lebih proporsional kaum perempuan dalam pengambilan keputus-an, pelaksanaan dan pemantauan dari kegiatan-kegiatan penanggulangan kemiskinan.
3. Upaya penanggulangan kemiskinan harus dilakukan dengan pendekatan pembangunan ekonomi rumah tangga.
4. Program penanggulangan kemiskinan harus merupakan program pembangunan yang produktif yang menyumbang pada peningkatan pendapatan masyarakat miskin di tingkat akar rumput, berkelanjutan dan dengan pendampingan yang intensif.
5. Agenda penanggulangan kemiskinan harus menjadi agenda nasional dengan dua area sasaran aksi yakni: (a) menciptakan kebijaksanaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin melalui upaya peningkatan pendapatan; (b) meningkatkan pelayanan masyarakat yang efektif dan tepat menjangkau penduduk miskin
6. Penanggulangan kemiskinan merupakan gerakan masyarakat yang dilakukan sendiri oleh masyarakat dan hasilnya untuk masyarakat penduduk miskin sebagai pelaku penanggulangan kemiskinan.
7. Dalam suasana demokratisasi dan desentralisasi, maka upaya penanggulangan kemiskinan secara berkelanjutan tidak dapat lepas dari berbagai hal yang terkait yaitu: (a) terselenggaranya praktek pemerintahan yang baik (good governance); (b) pembagian peran yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah; (c) kerjasama (partnership) antara pemerintah, swasta dan masyarakat sipil (civil society) dalam penanggulangan kemiskinan; dan (d) upaya pemberdayaan masyarakat yang bertumpu pada kekuatan setempat.
8. Strategi penanggulangan kemiskinan dalam era otonomi harus memenuhi syarat: (a) sederhana, sehingga mudah dipahami serta dapat mengerakan aktivitas ekonomi masyarakat setempat; (b) open menu, dalam arti masyarakat lokal diberi ruang otonom untuk menentukan aktivitas ekonomi yang dibutuhkan; (c) partisipasi yang menyeluruh, dalam arti pengelolaanya melibatkan multi stakeholder; (d) keterbukaan informasi sehingga masyarakat dapat mengetahui dan memberikan kontribusi bahkan melakukan kompetisi; (e) pengelolaan program dan dana yang harus transparan.
9. Operasional strategi penanggulangan kemiskinan harus dilaksanakan dengan menerapkan hal-hal sebagai berikut: (a) koordinasi; (b) katalisasi; (c) mediasi; (d) fasilitasi
Dalam melaksanakan paradigma baru ini menurut Beni (2002), haruslah mempunyai forum yang nantinya forum ini akan memantau kebijaksanaan, perencanaan sampai pada implementasi dan evaluasi program penanggulangan kemiskinan. Maka dalam kontek ini lembaga yang dibentuk oleh pemerintah (negara) yaitu Badan Penanggulangan Kemiskinan dapat berfungsi sebagaimana dimaksud.
Kajian-kajian seperti diungkap Beni (2002) merupakan suatu rumusan berdasarkan pengalaman pelaksanaan penanggulangan kemiskinan selama ini. Apakah paradigma baru ini akan berhasil ? Bagaimanakah peran negara dalam menyejahterakan masyarakatnya apalagi di era pasar globalisasi seperti saat ini ?. Hal ini akan diulas dalam bahasan ini secara ringkas.
Selain apa yang dijelaskan di atas, upaya-upaya untuk mengatasi kemiskinan memang perlu penyatuan pandangan dan yang terpenting adanya tekad yang baik seluruh stakeholder, dalam mendukung paradigma baru ini sehingga persoalan kemiskinan, dapat diatasi lebih baik dari sebelumnya, yang berdampak bagi tingginya penurunan angka kemiskinan, tentunya didukung oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang lebih berpihak bagi masyarakat yang rentan atau miskin tersebut.
Kemiskinan masyarakat di Indonesia, termasuk di Kabupaten Natuna, selain disebabkan multi faktor, hal lain yang juga memberikan peran dalam memperlebar kesenjangan antar wilayah maupun diantara masyarakat pedesaan sendiri, adalah apa yang kita sebut sebagai kegagalan pasar. Apalagi letak Kabupaten Natuna yang berbentuk kepulauan yang cukup jauh dari pusat ekonomi.
Dari beberapa kasus di daerah lain; selama ini dapat ditunjukkan bahwa perkembangan ekonomi yang mengandalkan pada kekuatan pasar saja justru hanya dinikmati oleh masyarakat kelas menengah ke atas. Masyarakat ekonomi lemah di pedesaan tidak sepenuhnya mampu memanfaatkannya.
Apalagi dalam kenyataannya era pasar globalisasi sudah di depan mata. Maka kemampuan masyarakat miskin bila tidak dibarengi dengan political will pemerintah (negara) dalam turut serta menyejahterakan mereka, maka mereka dipastikan akan semakin terpuruk. Karena mereka akan berhadapan dengan berbagai tantangan pasar global yang terbuka luas dan berkembang.
Perubahan dan mobilitas penduduk yang bertambah, pertumbuhan perkotaan, industrialisasi, peningkatan pendapatan, peningkatan kecerdasan/pendidikan dan lain-lainnya, merupakan perubahan lingkungan strategik dari sisi permintaaan yang manakala diantisipasi dan diapresiasi secara tepat akan menjadi peluang usaha bagi mereka kaum miskin tetapi bila tidak maka mereka akan terjebak pada situasi kemiskinan yang kronis.
Pengaruh globalisasi dengan sangat cepat menyusup pada struktur dan persaingan usaha masyarakat di berbagai pelosok daerah, termasuk Kabupaten Natuna. Persaingan antar industri telah berubah dengan munculnya kerjasama antara badan-badan usaha yang selama ini saling bersaing, untuk mencapai tingkat keuntungan ekonomi yang tinggi. Dampak daripadanya seringkali sulit untuk diantisipasi karena pengaruhnya dapat saja melanggar kaidah-kaidah ekonomi yang fundamental. Gambaran tersebut sesungguhnya menunjukkan betapa teori keunggulan komparatif tidak lagi sesuai dengan perkembangan ekonomi dunia dewasa ini. Tetapi bagi mereka (kaum miskin), mereka tidak mampu mengantisipasi perubahan, bahkan mereka terseret oleh arus perubahan dengan ketidak pastian dan ketidak siapan mereka dalam mengarungi kehidupan di masa depan.
Jelas bahwa cepatnya fenomena globalisasi ekonomi tersebut membawa dampak yang sulit, baik untuk negara-negara industri maupun negara-negara berkembang seperti Indonesia. Keadaan di atas seringkali lebih dipersulit dengan semakin bertambahnya penduduk miskin di Indonesia termasuk di Kabupaten Natuna.

E. Pembahasan: Kebijakan Kesejahteraan Sosial di Indonesia
Dalam berbagai literatur, teori-teori kebijakan sosial seringkali dikaitkan dengan proses ekonomi politik. Istilah ekonomi politik mulai digunakan secara umum pada abad ke 18. Ekonomi politik diartikan sebagai cara-cara yang digunakan pemerintah untuk mengatur perdagangan, pertukaran, uang dan pajak (secara kasar apa yang sekarang disebut dengan kebijakan ekonomi termasuk dalam hal ini kebijakan kesejahteraan sosial ataupun penanggulangan kemiskinan).
Sebenarnya ekonomi politik telah diperkenalkan oleh Adam Smith. Namun perkembangannya tertinggal jauh dibandingkan dengan disiplin ilmu-ilmu ekonomi positif lainnya. Kini perkembangan ilmu ekonomi politik menunjukkan gairah dan semangat baru setelah munculnya ilmu ekonomi politik baru (Rachbini, 1994).
Sejarah lahirnya ekonomi politik sebenarnya tidak terlepas dari karya Karl Marx. Marx sebenarnya pengagum tradisi ekonomi politik, khususnya ekonomi politik Smith dan Ricardo. Marx dan sahabatnya Engels percaya bahwa ekonomi politik sebagai sains muncul seiring dengan kapitalisme; sebab menurut Marx sikap kapitalisme inilah yang melahirkan eksploitasi pada golongan lemah. Selanjutnya masih menurut Rachbini (1994) perspektif ekonomi politik ini terbuka untuk memahami masalah kelembagaan non pasar, termasuk peran negara dalam kegiatan dan transaksi ekonomi.
Teori-teori ekonomi politik menurut Rachbini (1994) ini ditandai dengan 3 karya yang fundamental, yaitu:
1. Petani rasional (Popkin)
2. Pasar dan negara (Robert Bates)
3. Kelangkaan, pilihan dan kebijakan publik (Rothchild dan Curry)
Mencermati apa yang dikatakan oleh Rachbini (1994), bahwa salah satu bentuk kajian ekonomi politik lahir dari kelangkaan, pilihan dan kebijakan negara, maka untuk kasus kebijakan kesejahteraan sosial di Indonesia dapat diamati dari pendekatan ini.
Tetapi harus diakui bahwa kebijakan pelaksanaan pembangunan di Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan sosial tidak semata-mata diarahkan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga ditekankan pada peningkatan pemerataan dan pendapatan, yang pada gilirannya diharapkan dapat mengurangi kesenjangan pendapatan antar golongan penduduk dan mengentaskan kemiskinan, dengan tujuan kesejahtera-an masyarakat miskin tercapai.
Karena masalah kemiskinan dan kesejahteraan sosial sangat kompleks bukan saja berkaitan dengan rendahnya tingkat pendapatan dan konsumsi masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik (power lessness), serta berbagai masalah yang berkenaan dengan pembangunan manusia (human development). Sehingga seharusnya upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh agen-agen pembangunan dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan tentunya harus secara terpadu.
Kaitannya dengan kebijakan penangulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan sosial, pemerintah telah dan sedang melaksanakan sekitar 69 program penanggulangan kemiskinan (Anonim, Jurnal Ekonomi, 2003). Jumlah program yang sangat banyak mengindikasikan kepada kita bahwa pemerintah mempunyai perhatian yang lebih terhadap permasalahan kemiskinan dan kesejahteraan sosial masyarakat.
Hanya saja pendekatan penanggulangan kemiskinan yang dijalankan harus sesuai dengan karakteristik kemiskinan di masing-masing daerah. Jangan sampai dipakai pola- pola yang lama dimana semua daerah diseragamkan pola penanggulangan kemiskinannya. Apalagi dalam sistem pemerintahan desentralisasi memungkinkan pelayanan kepada masayarakat miskin akan semakin cepat, dan penanganan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Persoalannya sekarang adalah; sejauhmana masyarakat miskin telah terlayani dengan program-program yang dilakukan?. Dan apakah penurunan angka kemiskinan terjadi karena digulirkannya program-program pengentasan kemiskinan oleh pemerintah ataukah karena keberdayaan dari masyarakat itu sendiri.
Secara teori bila terjadi penurunan angka kemiskinan di suatu daerah berarti ada kegiatan perekonomian, melalui terserapnya angkatan kerja, bantuan modal, pelatihan dan pendidikan, serta bantuan-bantuan makanan, dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga boleh dikatakan penurunan angka kemiskinan disebabkan adanya intervensi pemerintah.
Dalam beberapa tahun terakhir perhatian dari pemerintah cukup besar, melalui penyaluran dana penanggulangan kemiskinan. Hal ini lebih didorong bahwa kemiskinan merupakan masalah nasional, sehingga penanganannya harus secara nasional. Disamping itu juga kemiskinan akan mempengaruhi seluruh sendi-sendi kehidupan suatu bangsa. Kemiskinan terkait dengan pembangunan, sehingga pembangunan akan berhasil jika kemiskinan dapat diatasi.
Pernyataan ini sangat terkait dengan apa yang dikatakan oleh Halim (2003), bahwa salah satu penyebab kegagalan penanggulangan kemiskinan karena pemerintah belum mempunyai peta masalah serta potensi yang ada dalam masyarakat.


F. Penutup
Otonomi Daerah bisa dijadikan ajang bagi pemberdayaan masyarakat miskin. Asalkan jangan sampai euforia desentralisasi yang menyebabkan daerah menjadi otonom ternyata tidak mendatangkan kelegaan. Timbul raja-raja kecil didaerah, artinya bahwa tidak dapat dipungkiri dengan adanya otonomi daerah, memberikan nuansa baru bagi oknum-oknum pembangunan, yang dulunya terjadi kegemukan pejabat di pemerintah pusat melaluai kekuasaan sentralistiknya, berbalik terjadi kegemukan justru sekarang bagi oknum-oknum pembangunan di daerah, masyarakat miskin kurang mendapat perhatian.
Berbeda dengan sistem sekarang dimana sebelumnya program pengentasan kemiskinan merupakan kebijakan nasional, karena nasional maka yang lebih menentukan program di daerah adalah pemerintah pusat, dengan sedikit masukan dari pemerintah daerah, sementara pemerintah daerah merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Karena masih terbayang, dan karena biasa dengan pola-pola penanggulangan kemiskinan dengan sistem sentralistik menjadi sebagian daerah di Indonesia, kurang kreatif selalu mengadopsi cara-cara lama. Hal ini pula yang menyebabkan, kurangnya kemandirian daerah, dan berdampak bagi pembangunan daerah yang statis, walaupun telah otonomi.



G. Kepustakaan
Anonim, Siaran Pers. 27 Maret 2003. Pemerintah Sempurnakan Program Menurunkan Jumlah Penduduk Miskin, Jurnal Ekonomi, Kebijakan Kantor Menko.
Beni Romanus. 2002, Pengentasan Kemiskinan di Era Otonomi daerah: Penduduk Miskin Jadi aktor Utama. Warta demografi. No 1, 2002
Bappenas, dalam Piliang Indra J. 2002, Desentralisasi: Elegi Bisu Kemiskinan?, Warta Demografi No 1, 2002
Halim Omar. 2002, Kemiskinan di Indonesia Semakin Kritis. Harian Kompas, 2002
Johnson, P. Doyle, 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang, 1988, PT. Gramedia , Jakarta.
Kartasasmita, Ginandjar, 1997. Administrasi Pembangunan, Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia. LP3ES, Jakarta.
Kuncoro Mudrajad. 2000, Ekonomi Pembangunan: Teori Masalah dan Kebijakan, Penerbit Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, Yogyakarta.
Rachbini, Didik J, Perpektif Teori Ekonomi Politik Baru, dalam Prisma No 3 Thn XXIII, 1994
SMERU.2000, Apa Itu Kemiskinan dan Apa Penyebabnya. Jakarta.
Tumerengken, Rudi C dan Coto, 2001, Kemiskinan di Indonesia; Kajian Permodelan, Program Pascasarjana IPB , Bogor














Minggu, Desember 13, 2009

PERAN PEMERINTAH DALAM SEKTOR PERIKANAN UNTUK PENGEMBANGAN MASYARAKAT DESA NELAYAN

A. Latar Belakang
Sektor perikanan di Indonesia (terutama di Propinsi Riau) mempunyai peranan yang cukup penting, terutama dikaitkan dengan upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi perikanan yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup nelayan. Dari sektor ini dimungkinkan akan menghasilkan protein hewani dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dan gizi, meningkatkan ekspor, menyediakan bahan baku industri, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta mendukung pembangungn wilayah Propinsi Riau dan tentunya dengan tetap memperhatikan kelestarian dan fungsi lingkungan hidup.
Menurut Laporan Kompas 23 Juli 2008, dikatakan bahwa masalah perikanan dan nelayan saat ini semakin terpuruk dengan himpitan ekonomi, harga BBM, dan teknologi yang sangat rendah menyebabkan kaum nelayan selalu berada di lapisan paling bawah dalam sektor pembangunan pertanian dan perikanan. Keberpihakan pemerintah dan lembaga terkait lainnya belum mampu menyejahterakan mereka.
Pada hal konsep pembangunan perikanan modern pada dasarnya merupakan suatu pembangunan perikanan yang berorientasi agribisnis. Sasaran akhirnya adalah meningkatkan pendapatan sekaligus kesejahteraan bagi para nelayan.
Karenanya pembangunan perikanan menghendaki koordinasi yang mantap, mulai tahapan perencanaan sampai kepada pelaksanaan dan pemantauan serta pengendaliannya. Untuk itu , dibutuhkan visi, misi, strategi, kebijakan dan perencanaan program yang mantap dan dinamis. Melalui koordinasi dan sinkronisasi dengan berbagai pihak baik lintas sektor maupun subsektor, tentu dengan memperhatikan sasaran, tahapan dan keserasian antara rencanan pembangunan nasional dengan regional, diharapkan diperolah keserasian dan keterpaduan perencanaan dari bawah (bottom up) yang bersifat mendasar dengan perencanaan dari atas ( top down) yang bersifat policy, sebagai suatu kombinasi dan sinkronisasi yang lebih mantap.

B. Masalah.
Salah satu model pengembangan sektor pertanian dan perikanan yang dewasa ini mulai digalakkan adalah pengembangan agribisnis. Dalam pola ini nelayan diarahkan berubah polanya dari minimalisasi profit ke arah maksimalisasi profit. Oleh karena sistem agribisnis merupakan suatu runtut kegiatan yang berkesinambungan mulai dari hulu sampai hilir, maka keberhasilan pengembangan agribisnis perikanan ini sangat tergantung kepada kemajuan-kemajuan yang dapat dicapai pada setiap simpul yang menjadi sub-sistemnya dan bukan hanya para nelayan saja sebagai subyek dan obyeknya. Untuk itu tulisan ini akan mencoba menganalisis kebijakan sektor perikanan, utamanya mengenai pengembangan agribisnis yang mungkin akan diterapkan juga di daerah Propinsi Riau.

C. Telaah Pustaka.
Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat (Suharto, 2006).
Dengan demikian arti kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program lainnya. Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki fungsi preventif, kuratif, dan pengembangan.
Selanjutnya dikatakan oleh Suharto (2005), dalam konteks pembangunan social, kebijakan social merupakan suatu perangkat, mekanisme, dan sistem yang dapat mengarahkan dan menterjemahkan tujuan-tujuan pembangunan. Kebijakan sosial senantiasa berorientasi kepada pencapaian tujuan social. Tujuan sosial ini mengandung 2 pengertian yang saling terkait, yakni: memecahkan masalah social dan memenuhi kebutuhan social.














Gambar 1. Tujuan Kebijakan Sosial
Sumber: Suharto, 2005

Dari skema di atas tampak bahwa kebijakan sosial bertujuan untuk memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan sosial masyarakat. Selanjutnya dalam garis besarnya, kebijakan sosial diwujudkan dalam 3 kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan (Midgley, 2000). Berdasarkan kategori ini, maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan daerah yang menyangkut masalah sosial dan kehidupan sosial adalaj wujud dari kebijakan sosial. Namun tidak semua kebijakan sosial berbentuk perundang-undangan.
Berkaitan dengan kebijakan perikanan di bidang agribisnis, juga merupakan kebijakan sosial di mana yang terungkap sejauh ini memberikan kesan kepada kita bahwa agribisnis adalah suatu corak pertanian tertentu dengan jati diri yang berbeda dengan pertanian tradisional (yang dilakoni mengikuti budidaya yang berakar pada adat istiadat dari komunitas tradisional) maupun dari pertanian hobi yang tidak mendambakan nilai tambah komersial.
Agribisnis adalah pertanian yang organisasi dan manajemennya secara rasional dirancang untuk mendapatkan nilai tambah komersial yang maksimal dengan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diminta pasar. Oleh karena itu dalam agribisnis proses transformasi material yang diselenggarakan tidak terbatas kepada budidaya proses biologik dari biota (tanaman, ternak, ikan) tetapi juga proses pra usahatani, pasca panen, pengolahan dan niaga yang secara struktural diperlukan untuk memperkuat posisi adu tawar (bargaining) dalam interaksi dengan mitra transaksi di pasar. Ikatan keterkaitan fungsional dari kegiatan pra usahatani, budidaya, pasca panen, pengolahan, pengawetan dan pengendalian mutu serta niaga perlu terwadahi secara terpadu dalam suatu sistem agribisnis yang secara sinkron menjamin kinerja dari masing-masing satuan sub proses itu menjadi pemberi nilai tambah yang menguntungkan, baik bagi dirinya maupun secara keseluruhan.
Secara konsepsional sistem agribisnis dapat diartikan sebagai semua aktivitas mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai kepada pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh usahatani dan agroindustri, yang saling terkait satu sama lain. Dengan demikian sistem agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai subsistem, yaitu (a) subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengembangan sumberdaya pertanian; (b) subsistem budidaya atau usahatani; (c ) subsistem pengolahan hasil atau agroindustri, dan (d) subsistem pemasaran hasil; (e) subsistem prasarana dan (f) subsistem pembinaan.

D. Pembahasan
Sebagai industri yang bertumpu kepada proses biologis, dunia perikanan adalah dunia pedesaan. Data statistik menunjukkan lebih dari 54 persen dari angkatan kerja pedesaan bermata pencaharian di bidang pertanian/perikanan dengan rata-rata pendapatan relatif lebih rendah dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang bekerja di sektor lain dan yang tinggal di perkotaan. Rendahnya pendapatan penduduk pedesaan, terutama yang bekerja di sektor perikanan ada hubungannya dengan struktur pedesaan yang kurang kondusif bagi perkembangan agribisnis yang dinamik dan kompetitif, karena sosok usahatani perikanan yang lemah prasarana, fisik dan non fisik yang masih belum memadai, serta terbatasnya jangkauan pasar.
Kita semua mengetahui bahwa hampir sebagian besar produksi hasil perikanan adalah hasil jerih payah nelayan yang bertumpu kepada usahatani keluarga , yang didukung dengan sumberdaya manusia dan iptek yang masih tertinggal. Kondisi struktural demikian itu menyebabkan terbatasnya kemampuan nelayan untuk menjangkau sarana produksi dan kesempatan memperoleh sinergi yang diperlukannya untuk berkembang.
Ditinjau dari aspek dukungan pendanaan dari perbankan, ternyata investasi perikanan juga sangat kurang diminati dunia usaha. Hal ini menjadi salah satu indikator dari adanya suku bunga perbankan yang dirasakan terlalu tinggi untuk usahatani di pedesaan dan fakta bahwa lembaga dan sistem perbankan belum sepenuhnya menjangkau nelayan, baik dari segi kelembagaan maupun prosedurnya. Andaikata jangkauan tersebut sampai kepada sasarannya, ternyata lembaga perbankan justru telah menjadi sarana untuk mengalirnya dana dari pedesaan ke perkotaan, karena pedesaan lebih banyak menyimpan daripada meminjam. Disini terlihat bahwa ketertinggalan dan keterbatasan nelayan ternyata merupakan faktor kondisional yang berada dibalik mengalirnya dana dari pedesaan ke perkotaan tersebut.
Kondisi lain yang ikut memperlambat laju penanaman modal di sektor pertanian khususnya perikanan adalah keharusan untuk sejak awal menerapkan pendekatan terpadu yang utuh. Produk perikanan mempunyai karakteristik yang mudah rusak dan bervolume dengan dibandingkan nilainya. Penanganan pasca panen, penyimpanan , pengolahan, pengangkutan dan lancarnya pemasaran menjadi sangat penting. Apabila penanam modal tidak mampu menerapkan prinsip integrasi vertikal dalam investasinya, maka ia terpaksa harus bergantung kepada adanya investasi lain yang menjamin hadirnya semua mata rantai yang diperlukan agar produknya dapat dipasarkan dengan baik.
Kebijakan perikanan sebenarnya telah disusun memenuhi sistem agribisnis yang diharapkan, yaitu salah satunya adalah berusaha meningkatkan keterkaitan antara subsistem sehingga setiap kegiatan pada masing-masing subsistem dapat berjalan secara berkelanjutan dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Namun dalam kenyataannya pola ini masih berkembang untuk beberapa desa di pedesaan Jawa, dan belum menyentuh ke Propinsi Riau.
Untuk itu ke depan kiranya perlu dipikirkan pembangunan prasarana dan sarana yang memadai guna mendukung budidaya perikanan yang potensial melalui kajian yang memadai. Propinsi Riau merupakan sentra perikanan yang strategis karena letaknya berupa perairan dan laut.

E. Penutup.
Keberhasilan suatu kebijakan apabila pada salah satu programnya terdapat pilot proyek yang benar-benar mengikuti aturan yang ada pada kebijakan tersebut. Maka pembangunan perikanan berwawasan agribisnis bukan lagi sekedar bertumpu pada persoalan produksi semata-mata, akan tetapi lebih berwawasan kepada peningkatan pendapatan dan mutu kehidupan yang lebih baik, dan itu sangat layak dikembangkan untuk kasus Propinsi Riau.
Kebijakan perikanan yang perlu dikembangkan tersebut perlu disusun berdasarkan alur proses perencanaan pembangunan perikanan, yaitu telah mengetahui situasi lingkungan dalam rangka pembangunan perikanan, misalnya telah mengetahui permasalahan, dan peluang yang akan dihadapi dalam pembangunan perikanan. Sehingga kebijakan yang dibuat telah mengacu kepada hasil analisa situasi lingkungan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perikanan. 1998. Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan (PROTEKAN) 2003.

Midgley, James, Introduction: Social Policy and Social Welfare¸ Sage London, 2000.

Suharto, Edi, Pembangunan Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, LSP Press, Bandung, 1997

Suharto, Edi, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Masyarakat, PT. Refika Aditama Bandung, 2005

Suharto, Edi, Kebijakan Sosial, makalah seminar Pendidikan dan Latihan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial Tingkat Ahli, BBPPKS, Lembang 14 November 2006

Jumat, Desember 04, 2009

SOAL MID TEST SOSIOLOGI
TAKE HOME EXAM
1. MENGAPA SOSIOLOGI LAHIRNYA LEBIH LAMBAT DIBANDINGKAN DENGAN DISIPLIN ILMU EKSAK ? DAN MENGAPA ILMU PENGETAHUAN BERSIFAT KUMULATIF ?
2. BAGAIMANA KELAHIRAN TEORI SOSIOLOGI DAN BAGAIMANA KAITANNYA DENGAN KEKALAHAN MASYARAKAT YUNANI DALAM PERANG PELOPONESUS ? REVOLUSI PERANCIS DAN REVOLUSI INDUSTRI DAN REVOLUSI INFORMASI (JELASKAN MENGGUNAKAN RUJUKAN DARI INTERNET, BUKU DLL DAN SEBUTKAN SUMBERNYA YANG BERKAITAN DENGAN TEORI COMTE, MARX DAN TOFFLER)
3. JELAS KELEMAHAN TEORI SOSIOLOGI DAN BAGAIMANA SANGGAHANNYA DALAM MEMANDANG FENOMENA SOSIAL ? BERIKAN CONTOH KASUS DAN ANALISISNYA MENURUT SDR
KETENTUAN :
JAWABAN DITULIS DENGAN TANGAN MENGGUNAKAN KERTAS FOLIO, SEBUTKAN SUMBER RUJUKANNYA DAN MINIMAL 5 LEMBAR

INDUSTRI KECIL DI INDONESIA

A. Pengantar.

Sampai saat ini pelaku usaha kecil menengah (UKM) masih saja dimarjinalkan, baik oleh pemerintah maupun pengusaha besar. Janji pemerintah untuk merealisasikan kebijakannya memberdayakan UKM dinilai masih sebatas janji, belum direalisasikan. Banyak pihak yang menyadari bahwa UKM adalah penyelamat perekonomian nasional. "UKM-lah yang dominan dan potensial untuk menyelamatkan perekonomian nasional, terutama saat krisis. Kelompok ini memiliki daya tahan tinggi dan sangat adaptif. UKM juga memiliki keahlian khusus, jenis produknya bernuansa kultur, menggunakan sumber daya lokal, permodalan relatif kecil dan padat karya, namun tetap saja dimarjinalkan.

Berangkat dari kondisi ini, maka sebenarnya negara (pemerintah) sebaiknya memiliki kepedulian yang tinggi pada kelompok ini, untuk mengembangkannya lebih lanjut dengan membuka berbagai pasarnya. Salah satu caranya, yaitu kelemahan UKM segera diatasi, seperti sulit mengakses pasar, lemah dalam akses promosi, usia produk UKM relatif pendek, terbatasnya penguasaan dan pemilikan aset produksi, terutama permodalan dan sumber daya manusia (SDM) UKM yang belum siap bersaing dalam pasar global. Belum lagi banyak para pelaku UKM pun masih dibebani berbagai persyaratan dalam menjalankan usahanya. Tanpa upaya tersebut, produk UKM tidak siap menghadapi pasar global yang peluangnya sangat besar, apalagi dalam era globalisasi seperti sekarang ini.

Harus diakui bahwa produk UKM saat ini masih dominan di sektor primer dan belum banyak di sektor industri yang memiliki nilai tambah tinggi. Dengan kata lain banyak pelaku usaha UKM belum optimal memanfaatkan teknologi informasi dalam mengembangkan usahanya.

Untuk ini perlu dibangun pola pengembangan UKM yang komprehensif dalam semua sektor dan keperdulian negara (pemerintah) untuk turut membantu dan mengembangkan sangat diharapkan.

B. Masalah

Peran UKM dalam denyut nadi perekonomian di Indonesia, (khususnya rakyat kecil) sangat kuat dan terbukti UKM tangguh menghadapi tantangan krisis moneter dan global seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Ini menandakan bahwa sektor ini memiliki fleksibelitas yang cukup tinggi dalam menyiasati perubahan ekonomi yang terjadi.

Kendatipun sektor ini memiliki daya lentur yang baik dalam menyiasati perubahan ekonomi, tetapi sektor ini masih belum berkembang secara baik sebagai solusi pengembangan usaha rakyat kecil untuk peningkatan kesejahteraan sosial mereka.

C. Telaah Pustaka.

Kebijakan Negara yang sentralistik beberapa waktu yang lalu, masih terasakan dampaknya. Lebih khusus dalam kebijakan ekonomi yang sentralistik dan orientasi pembangunan yang menekan pada aspek pertumbuhan, dimana usaha besar dijadikan sebagai roda penggerak ekonomi Nasional, ternyata tidak terbukti memberikan nilai lebih, bahkan tidak mampu bertahan saat krisis melanda Indonesia dan Asia pada umumnya.

Kesalahan kebijakan investasi dan “kebocoran” di berbagai sektor pemerintahan telah mengakibatkan dunia usaha terpuruk dan selanjutnya menyeret keterpurukan pada sektor ekonomi yang lain.

Dalam kondisi diatas, maka usaha kecil terbukti mampu menjadi “penyangga” perekonomian rakyat, karena keadaan tersebut mendorong inisiatif masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi pinggiran sebagai upaya bertahan hidup. Hal ini nampak pada pertumbuhan secara kuantitatif jumlah pelaku usaha kecil di Indonesia tahun 2001 yang mencapai 40.137.773 juta (99,86%) dari total jumlah pelaku usaha 40.197.61 juta, sementara pelaku usaha mikro mencapai 97,6% dari jumlah pelaku usaha kecil (BPS 2001) dan jumlah itu terus meningkat sampai sekarang. Jumlah tersebut menunjukkan kontribusi sangat besar UKM terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut perhitungan BPS dengan jumlah tersebut UKM mampu menyediakan 99,04% lapangan kerja Nasional, sumbangan terhadap PDB mencapai 63,11% dan memberikan pemasukan sebesar 14,20% diluar non migas.(BPS, 2001).

Dari sajian ilustrasi di atas tampak bahwa peran UKM dan industri kecil ternyata sangat strategis dalam pengembangan usaha ekonomi kerakyatan. Nilai strategis lain usaha kecil-mikro adalah kemampuannya menjadi sarana pemerataan kesejahteraan rakyat. Karena jumlah besar, biasanya bersifat padat karya sehingga mampu menyerap tenaga kerja yang besar, meskipun ukuran unitnya kecil tetapi jumlah banyak memungkinkan orang lebih banyak terlibat untuk menarik manfaat didalamnya. Lebih lanjut, (BPS, 2005) dikatakan bahwa dari jumlah 2.002.335 unit usaha kecil, dan 194, 564 unit usaha mikro, di sektor pengolahan jumlah perempuan pelaku ada 896.047 (40,79%), dan angka tersebut diyakini lebih besar lagi mengingat bahwa data tersebut dibuat berdasarkan kepemilikan formal, bukan pelaku (riil) usaha.

Meskipun terbukti kontribusi UKM cukup berhasil, tetapi UKM masih mengalami banyak permasalahan yang disebabkan ketidak adilan struktur maupun budaya. Dari sejumlah hambatan UKM secara internal maupun eksternal menunjukkan bahwa dunia usaha yang dilakukan oleh rakyat/pelaku ekonomi pinggiran berada pada posisi yang sulit. Kenyataan yang dihadapi pelaku UKM, tidak banyak diuntungkan dengan berbagai stereotipe dan pencitraan dalam masyarakat yang dipandang dalam posisi subordinat.

Permasalahan UKM selalu terkait dengan aspek modal. Ibrahim, (2006) mengatakan bahwa UKM di Propinsi Riau 86,6% belum pernah mengajukan pinjaman ke Bank dengan alasan prosedur rumit, tidak memiliki asset untuk agunan, begitu halnya akses terhadap program pada umumnya seperti pelatihan, informasi maupun pengembangan pasar.

Dengan demikian menurut Hamsal (2006) pengembangan UKM perlu keterpaduan stakeholders UKM, membangun database UKM, identifikasi dan klasifikasi produk UKM yang berorientasi lokal, nasional, dan ekspor, serta menyusun program promosi dan produk UKM.

D. Analisis Persoalan.

Sebagai sebuah sistem, kebijakan dasar pengembangan UKM dipahami sebagai kebijakan yang melibatkan banyak actor dan kepentingan yang merupakan sub-sub sistem. Sub-sub sistem tersebut bisa dipahami sebagai stakeholders yang masing-masing mempunyai peran dan kepentingan terhadap eksistensi UKM. Oleh karena itu, untuk mendesain kebijakan dasar pengembangan SDM UKM yang komprehensif, pertama yang harus dilakukan adalah memetakan atau mengidentifikasi kelompok-kelompok yang terlibat dalam formulasi kebijakan dan yang menjadi target dari kebijakan tersebut.

Kelompok-kelompok ini merupakan esensi yang sudah eksis dan terlibat secara intens dengan urusan UKM. Terkait dengan kegiatan pemetaan ini adalah identifikasi peran dan kebutuhan yang diinginkan oleh masing-masing stakeholders terhadap UKM. Termasuk di dalamnya adalah identifikasi permasalahan-permasalahan (problems) yang ditemui dari setiap stakeholder dalam mengoptimalkan perannya dalam pengembangan UKM.

Dari laporan kajian tentang UKM (Ibrahim 2006); (Hamsal, 2006) dinyatakan sebenarnya ada beberapa metode yang mungkin dapat digunakan untuk pengembangan UKM, diantaranya upaya mengeksplorasi keinginan, peran, dan juga problematika stakeholders tersebut diantaranya adalah diskusi kelompok terbatas, teknik moderasi, dan juga wawancara mendalam dengan pelaku-pelaku kepentingan. Untuk kemudian dicarikan solusi yang paling mungkin dilakukan.

Kendatipun demikian, nyatanya peran dan pengembangan UKM tetap tidak mudah untuk dilakukan oleh negara (pemerintah) berikut stakeholder yang ada. Ini disebabkan Dinas Koperasi dan UKM pada tiap Kabupaten dan Kota sebagai ujung tombak dalam pembinaan UKM di daerah dengan adanya otonomi daerah yang bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi pelayanan kepada masyarakat, akan memberikan amanah yang sangat besar kepada stakeholder ini. Pada saat sekarang dinas tidak bisa lagi bertumpu pada petunjuk dari instansi di atasnya.

Segala sesuatunya tergantung pada inovasi dan kreatifitas masing-masing dinas di daerah. Dalam menjalankan fungsi ini, dinas UKM dan koperasi tetap harus berpegangan pada unsur pemberdayaan masyarakat, pemerintah hanya akan memainkan peran sebagai fasilitator yang menyediakan informasi yang berkaitan dengan kompetensi lokal yang dapat diolah menjadi produk barang dan jasa dan juga informasi pasar. Dalam kenyataannya masih banyak anggota UKM mengeluhkan masih birokratisnya proses untuk mendapatkan jasa dan layanan seperti yang diharapkan.

Sementara itu peran lembaga pendidikan (diklat) yang dapat dimainkan dalam pengembangan riset dan SDM untuk mengembangkan UKM, misalnya perguruan tinggi dan sejenisnya belum terlaksana dengan baik. Pada hal sedianya dengan adanya berbagai pendidikan dan latihan, para pelaku UKM akan mendapatkan supply pengetahuan yang baru untuk pengembangan bisnisnya.

Maka seyogyanya antara (negara) pemerintah, pelaku (wadah organisasi) UKM, serta lembaga pendidikan ada keterkaitan secara kerjasama. Disini perguruan tinggi akan berperan dalam pengkajian dan penelitian berbagai hal yang berkaitan dengan pengembangan usaha UKM, serta mencetak alumni yang dapat dimanfaatkan oleh para pelaku UKM.

Di pihak lain Lembaga Swadaya Masyarakat, harus berfungsi sebagai pendamping bagi para pelaku UKM saat berhubungan dengan pihak-pihak luar seperti pemerintah, perbankan maupun sektor swasta lainnya. Selain itu LSM juga bisa berperan dalam membangkitkan kesadaran sosial dan peranan yang bisa dimainkan olehnya, khususnya dalam menghadapi pengusaha-pengusaha besar. Sehingga kekhawatiran adanya eksploitasi sumber daya akan dapat dikurangi.

Hal yang paling penting juga adalah peran Lembaga Keuangan (bank maupun non-bank). Lembaga keuangan akan memegang peranan yang sangat penting dalam pengembangan UKM. Berdasarkan kajian (Ibrahim 2006) dan Hamsal (2006) menunjukkan bahwa UKM adalah unit usaha yang kurang memperoleh keistimewaan dari pemerintah dalam permodalannya. Akibatnya dalam pengajuan modal ke perbankan sering menemui permasalahan.

Hal ini yang muncul ke permukaan terkait dengan otonomi daerah, kebijakan pengembangan UKM harus diarahkan pada jiwa dari otonomi yakni untuk menciptakan kompetensi lokal dalam rangka meningkatkan daya kompetisi. Oleh karena itu kebijakan yang mengarah pada bentuk-bentuk sentralisasi harus dihindarkan. Implikasinya dalam mendesain kurikulum dalam diklat harus disesuikan dengan kebutuhan dan muatan lokal (local needs).

Dari laporan Hamsal (2006) dan Ibrahim (2006) terdeteksi bahwa peran-peran ideal yang seharusnya dilaksanakan dari masing-masing stakeholder terhadap UKM belum berjalan secara optimal dalam suatu tatanan koordinasi yang sinergis. Bahkan fakta di lapangan masih banyak ditemukan adanya tarik ulur kepentingan antara Dinas Koperasi dan UKM sebagai stakeholders dominan dalam implementasi kebijakan pengembangan SDM koperasi dan UKM dengan berbagai dinas dan lembaga terkait. Conflict of interest ini juga masih terjadi antara LSM dengan pemerintah. LSM masih merasa sering dicurigai oleh pemerintah. Sebaliknya pemerintah juga masih dicurigai oleh LSM.

Dari paparan permasalahan yang telah diuraikan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan berkaitan dengan pengembangan kebijakan dasar UKM, antara lain:

1. Mendesain payung kebijakan yang komprehensif dan aspiratif. Realitas menunjukkan bahwa dalam pengembang-an UKM banyak sekali kelompok yang mempunyai kepentingan dalam kebijakan ini. Untuk menjamin tingkat efektifitas koordinasi dan sinkronisasi, maka kebijakan pengembangan dasar harus berada dalam payung kebijakan yang memiliki daya jangkauan yang luas dan berada di atas peraturan daerah.

2. Dari sisi substansi kebijakan, dalam rangka mewujudkan suatu kebijakan yang rasional dan adil maka diperlukan adanya suatu riset yang menyeluruh untuk menggali data dan informasi yang berkaitan aspek pengembangan UKM. Data dan informasi yang yang komprehensif ini akan mereduksir aspek penyederhanaan permasalahan. UKM memang sangat beragam, untuk itu perlu untuk diklasifikasikan berdasarkan skala usahanya. Pengklasifi-kasian ini dilaksanakan untuk menjamin adanya efektifitas kebijakan yang dihasilkan.

3. Membentuk forum dialog dari berbagai stakeholders. Dalam rangka mereduksi adanya konflik kepentingan dan duplikasi kegiatan idealnya ada sinergi masing-masing stakeholders untuk merumuskan kebijakan substantif pengembangan UKM.

4. Merevitalisasi lembaga-lembaga Diklat terkait pengembang-an UKM. Lembaga Diklat adalah memegang posisi yang sangat vital dalam menciptakan pengembangan UKM.

5. Mempermudah permodalan dengan adanya peraturan yang ringan bagi permodalan UKM terhadap lembaga keuangan yang ada.

6. Selain komponen di atas untuk pengembangan UKM diperlukan juga adanya: (1) Stabilitas Politik dan Keamanan, (2) peningkatan SDM dan teknologi; (3) Penguatan jaringan interaksi antar UKM dan industri besar/swasta (4) Pemerataan akses terhadap sumberdaya ekonomi; (5) Meningkatkan masyarakat untuk cinta produk lokal

D. Kesimpulan.

Rendahnya akses dan secara umum juga pendidikan para pelaku UKM ini seringkali berkorelasi dengan akses informasi dan kemampuan manajerial usaha mereka. Karena sering diketahui bahwa adanya keterbatasan pendidikan ini menyebabkan mereka rentan terhadap keterbatasan informasi dan peluang pasar; yang akan berakibat pada banyak hal yaitu: (1) Tidak diserapnya produk oleh pasar dengan optimal karena pengusaha tidak bisa: menggambarkan ukuran, struktur dan perilaku konsumen sasaran, rencana posisi produk di pasar, market share dan estimasi penjualan untuk beberapa tahun ke depan. (2) Karena keterbatasan pendidikan dan informasi itu maka kebanyakan mereka beroperasi dengan hanya berorientasi pada produk sehingga mengabaikan aspek pasar.

Dari adanya fakta dan temuan seperti itu, maka wajarlah bila UKM meskipun terbukti tahan terhadap krisis ekonomi dan mampu sebagai buffer ekonomi rakyat. Tetapi SDM yang ada masih rendah, maka untuk stimulus perbaikan UKM ke depan diperlukan beberapa kebijakan dan pembenahan. Guna mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan upaya pengembangan UKM dan sekaligus memecahkan berbagai permasalahan yang ada , maka saran utama guna pengembangan UKM yang dapat ditempuh adalah : (1) Perlunya perluasan pangsa pasar dan akses terhadap perbankan yang lebih luwes dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah untuk penambahan modal. (2) Perlunya perhatian yang lebih serius dari pihak terkait untuk penanganan SDM, mutu, pemasaran dan packing produk. (3) Perlunya dikembangkan sistem informasi bisnis dan usaha bagi masyarakat serta diklat manajemen secara berkala. Sistem ini akan menciptakan roda ekonomi UKM dan peningkatan kesejahteraan sosial.



Entri Populer

MARI BERGABUNG DAN DISKUSI YUK !!!

BAGI PENCINTA DAN PEMINAT SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI BOLEH MENGUTIP POSTING DI SINI. ASALKAN MENYEBUTKAN SUMBERNYA YA !!!

APA KOMENTAR ANDA DENGAN BLOG INI ?


Perkenalan

Suka duka jadi seorang antropolog lebih banyak sukanya, karena lebih banyak mengenal masyarakat dengan berbagai karakteristik dan keragaman mereka.


Siapa bilang mereka adalah masyarakat bodoh .......mereka justru adalah masyarakat yang pintar, arif terhadap lingkungan dan taat dalam menjalankan norma adat mereka.

Bekal ini digunakan untuk menyebarluaskan kearifan mereka di tengah masyarakat modern, yang katanya paling hebat. Tapi nyatanya.........???????

Potret Masyarakat Pesisir

Potret Masyarakat Pesisir

Pembangunan PLB

Pembangunan PLB

PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP POLITIK

1. Pengantar

Sejarah perkembangan partisipasi dan partai politik di Indonesia sangat mewarnai perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini sangat mudah dipahami, karena partai politik dan partisipasi politik merupakan gambaran wajah peran rakyat dalam percaturan politik nasional atau dengan kata lain merupakan cerminan tingkat partisipasi politik masyarakat. Romantika kehidupan partai politik sejak kemerdekaan, ditandai dengan bermunculannya banyak partai (multi partai). Secara teoritikal, makin banyak partai politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara. Banyaknya alternatif pilihan dan meluasnya ruang gerak partisipasi rakyat memberikan indikasi yang kuat bahwa sistem pemerintahan di tangan rakyat sangat mungkin untuk diwujudkan. Sebagaimana diketahui bahwa konflik memang sangat diperlukan untuk menumbuhkan kompetisi antarkontestan dan sekaligus menarik motivasi masing masing untuk melakukan koreksi, berbenah diri, dan mengejar ketinggalan dalam rangka memenangkan persaingan dalam merebut hati rakyat.

Pada gilirannya akan terjadi proses belajar dan proses pertumbuhan secara terus menerus menuju kearah lebih maju, lebih baik, dan lebih mensejahterakan rakyat. Namun bila kepentingan-kepentingan cenderung bersifat divergen dan kesadaran politik serta toleransi politik belum cukup memadai, maka banyaknya partai politik bisa menimbulkan keadaan makin meruncingnya perbedaan dan memperparah keruwetan, yang berimplikasi pada sulitnya manajemen politik untuk memelihara konflik pada tingkatan yang optimal. Dengan premis seperti itulah, maka pemerintah orde baru merasakan perlu untuk mereduksi partai politik agar menjurus ke dalam bentuknya yang lebih sederhana. Menurut jalan pemikirannya, tujuan yang ingin dicapai adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi makin berperannya partai politik di satu segi dan makin mudahnya pengendalian konflik dikala mencapai tingkatan yang dianggap membahayakan persatuan dan mengganggu jalannya pembangunan nasional pada segi yang lain. Oleh karena itulah, maka kemudian berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1975, partai politik yang semula jumlahnya cukup banyak direduksi menjadi tiga kekuatan politik saja, yaitu menjadi dua partai politik dan satu golongan karya (Golkar).

Patut diduga sebelumnya, bahwa rupanya upaya penyederhanaan partai politik lebih berat perkembangannya pada pengendalian konflik yang makin lama makin ketat dan melampaui batas toleransi yang sewajarnya bagi perkembangan partai politik. Pemerintah, terutama eksekutif makin kuat secara berlebihan dan partai politik makin lemah kekuasaannya sampai pada posisi yang tidak berdaya. Dalam kondisi seperti ini, jangankan dapat memainkan perannya untuk peningkatan partisipasi politik masyarakat, untuk bertahan hidup saja barangkali harus dengan bantuan pihak lain yang lebih memiliki kekuasaan. Implikasi selanjutnya, mudah diterka bahwa masyarakat dan rakyat tidak berdaya di satu sisi, dan kolusi, korupsi, dan nepotisme negatif merajalela tanpa hambatan dan makin lama makin tak terkendali.

Menyadari keadaan yang sangat distruktif bagi perkembangan negara dan bangsa, maka lahirlah gerakan reformasi yang tujuannya tidak lain untuk menghambat dan menghentikan proses dan praktik-praktik yang distruktif dan menggantinya dengan tatanan, proses, dan praktik-praktik yang konstruktif bagi perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara. Selanjutnya gerakan reformasi berubah bentuknya secara lebih sistematik menjadi agenda nasional. Sejalan dengan upaya reformasi yang merupakan agenda nasional yang kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Undang- undang No. 3 Tahun 1999, kehidupan kepartaian berubah kembali dengan kehidupan multi partai dan telah melahirkan 147 partai politik. Dengan mencermati uraian tersebut di atas, sangat mudah dimengerti bahwa ternyata sepak terjang peran partai politik sejak kemerdekaan sampai saat ini mengalami pasang dan surut dalam pembangunan bangsa khususnya peningkatan partisipasi politik masyarakat di dalam segenap aspek kehidupan pembangunan nasional. Peran partai politik yang bersifat pasang surut tersebut terutama dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat terlihat dalam pasang surutnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutment politik, dan sarana pengaturan konflik; karena keempat peran itu diambil alih oleh pemerintah khususnya eksekutif yang didukung oleh legislatif dan yudikatif.


2. Konsep Partai dan Partisipasi Politik.

Sistem politik demokrasi modern adalah sistem demokrasi perwakilan yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan partai politik. Di negara demokrasi, partai politik adalah suatu keniscayaan karena berkaitan erat dengan kemunculan lembaga-lembaga perwakilan sebagai sarana politik untuk mewujudkan aspirasi rakyat. Prinsip pemerintahan demokrasi, yakni "oleh rakyat" diwujudkan dengan adanya partai politik dan "dari rakyat" dapat diukur dari hasil pemilihan umum yang bersifat umum, langsung, bebas, rahasia, dan adil. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan tentang kemunculan partai politik.

  1. Teori kelembagaan. Teori itu menyatakan bahwa munculnya partai politik karena dibentuk oleh kalangan legislatif untuk mengadakan kontak dengan masyarakat.

  2. Teori situasi historis yang menyatakan bahwa adanya partai politik sebagai jawaban untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan oleh perubahan masyarakat secara luas berupa krisis legitimasi, integrasi, dan partisipasi.

  3. Teori pembangunan yang mengungkapkan bahwa kelahiran partai politik merupakan hasil produk modernisasi sosial ekonomi.

Selanjutnya kemunculan partai politik setidaknya memiliki lima fungsi politik yang sangat penting.

  1. Sarana sosialisasi politik di mana partai melakukan kegiatan dalam proses pembentukan sikap dan orientasi politik masyarakat.

  2. Sarana komunikasi politik, yakni peran parpol sebagai agen penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah.

  3. Rekrutmen politik di mana parpol melakukan seleksi dan pengangkatan individu atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peran dalam sistem politik.

  4. Pengelola konflik. Yaitu parpol berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara-cara dialog, menampung, dan memadukan aspirasi maupun kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik.

  5. Artikulasi dan agregasi kepentingan politik di mana parpol memiliki peran penting dalam menyalurkan aspirasi dan kepentingan pemilihnya.

Sekarang masalahnya adalah; sejauhmanakah keterlibatan masyarakat dalam kegiatan partai politik ?. Dan bagaimana pula bentuk partisipasi politiknya ?.

Untuk kasus dewasa ini, memasuki lembaga legislatif mau-tidak mau harus melalui partai politik. Keterlibatan dalam partai politik adalah juga bentuk dari partisipasi politik. Berbicara tentang keterlibatan atau partisipasi politik, tentu saja kita tidak dapat menghindarkan diri dari diskusi tentang partisipasi politik menurut disiplin ilmu politik. Mely G. Tan (1992) dalam Yulfita (1995) membedakan partisipasi politik dalam dua aspek, yaitu dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit berupa keikutsertaan dalam politik praktis dan aktif dalam segala kegiatannya, sedangkan dalam arti luas, berupa keikutsertaan secara aktif dalam kegiatan yang mempunyai dampak kepada masyarakat luas, mempunyai kemampuan, kesempatan, dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang mendasar yang menyangkut kehidupan orang banyak. Budiardjo (1981) menyatakan partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memiliki pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.

Kalau Huntington dijuluki sebagai bapaknya partisipasi politik, maka David Easton dapat pula dijuluki sebagai bapaknya teori sistem politik. Analisa teori sistem politik David Easton, memang paling mudah untuk dicermati - dalam kerangka sistem politik yang demokrasi, sebab alur pikirnya sangat sederhana, tetapi kegunaannya sangat luar biasa. Dalam teorinya yang sederhana, yakni ;

-->- input --> proses --> output -->-
|----------------------------------|
|
----------------------------------|
--<---------- Masyarakat ---------<--


Melihat proses tersebut di atas, dapat diasumsikan, seorang penguasa mengeluarkan (output) peraturan atau prundang-undangan, sampai di masyarakat, masyarakat bisa setuju atau sebaliknya tanggapanya (input), akan diproses kembali oleh sang penguasa untuk kemudian dikeluarkannya kembali peraturan yang dapat diterima oleh masyarakat. Dan demikian selanjutnya.

Dalam teori ini ada dua ciri pelaku partisipasi politik, yang membedakan seseorang berpartisipasi dalam politik, yakni :

  1. Yang dimobilisasikan

  2. Otonom
    Sikap politik pada kelompok pertama (yang dimobilisasikan), biasanya tampak orang tersebut sangat fanatik. Karena orang tersebut, hanya sok-sok an, sehingga yang ia tahu hanya berpihak, berpihak dan berpihak. Sedangkan strategi untuk memenangkannya - karena ia memang tidak paham, hanyalah melawan orang atau kelompok di luar dirinya, atau di luar kelompoknya.

Lain halnya dengan orang-orang yang mempunyai sikap otonom, biasanya mereka mengikutinya dengan seksama, menganalisanya, baik buruknya dari partai yang ingin ia dukung. Sehingga sikap otonom ini sangat sukar dipengaruhi untuk menjadi ugal-ugalan.

Pertanyaannya, siapakah diri Anda, apakah Anda kelompok pertama atau kedua?. Yang perlu kita ketahuai adalah, apakah kita sudah mempunyai kedewasaan berpolitik, atau belum?.

Khusus berkaitan dalam bidang partisipasi politik, menurut Rush dan Althoff (1983) untuk dapat melihat sejauhmana keikutsertaan seseorang dalam kegiatan politik dapat dilihat dari hierarki partisipasi politik yang dilakukannya. Hierarki partisipasi politik itu dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 1.1

Hierarki Partisipasi Politik



Menduduki Jabatan politik dan administratif



Mencari jabatan politik atau administratif



Keanggotaan aktif suatu organisasi politik



Keanggotaa pasif suatu organisasi politik



Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik



Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik



Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, kampanye dan sebagainya


Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum


Pemberian suara (voting)

Sumber: Rush dan Althoff, 1983


Masih menurut Rush dan Althoff (1983) hierarki partisipasi yang berupa tingkatan itu, bukanlah merupakan prasyarat bagi jenis partisipasi suatu tingkatan berikutnya, walaupun mungkin berlaku bagi tipe-tipe partisipasi tertentu. Kemudian dari skema itu tampak bahwa bila hierarki partisipasi politik semakin naik, maka semakin mengecil volumenya, ini artinya bahwa; jenis partisipasi semakin ke atas semakin sedikit jumlahnya untuk diikuti oleh setiap individu.

Kemudian selain itu, banyak teori dan pendapat dari para ahli politik dan sosial yang mengatakan; karakteristik sosial seseorang, seperti status sosial ekonomi, kelompok ras atau etnik, usia, seks dan agama, baik mereka hidup di kota atau di pedesaan, semuanya akan mempengaruhi partisipasi politiknya. Dengan demikian, faktor seks, pendidikan dan geografis (desa-kota) tampaknya juga sangat berpengaruh dalam bentuk partisipasi politik. Pendapat ini didukung oleh Almond dan Verba, yang pernah melakukan penelitian dengan membandingkan seks dan jenjang pendidikan di beberapa negara, hasilnya mereka menyimpulkan:


Tabel 1.1

Keanggotaan Organisasi Sukarela dilihat dari Seks dan Pendidikan


Karakteristik

AS

Inggris

Jerman

Italia

Meksiko

%

%

%

%

%

Pria

68

66

66

41

43

Wanita

47

30

24

19

15

Pendidikan dasar atau kurang

46

41

41

25

21

Sedikit pendidikan lanjutan

55

55

63

37

39

Sedikit pendidikan universitas

80

92

62

46

68

Sumber : Almond dan Verba, 1963


Kesimpulan dari kajian Almond dan Verba (1963) ini tampak bahwa; pria lebih cenderung menjadi anggota organisasi sukarela daripada perempuan, dan partisipasinya bertambah dengan pertambahan pendidikan. Almond dan Verba (1963) juga mencatat bahwa; status pekerjaan yang lebih tinggi pada umumnya melibatkan keanggotaan asosiasi sukarela, walaupun hubungannya tidak seerat antara pendidikan dan afiliasi.

Asumsi konservatif yang diungkap oleh Almond dan Verba (1963), Russett (1964) serta Rush dan Althoff (1983) ini yang menjelaskan bahwa partisipasi politik sangat tergantung pada status sosial ekonomi sebagaimana dikutip di atas telah dipatahkan dalam kasus perempuan buruh pabrik garmen PT. Tongkyung Makmur Abadi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Jakarta. Hasil penelitian disertasi Nurul Aini1 (61) ini memperlihatkan adanya partisipasi otonom dari buruh yang umumnya berstatus sosial ekonomi rendah. Menurut Nurul Aini dalam disertasi doktornya, mengatakan bahwa partisipasi politik muncul karena tekanan dan perlakuan tidak adil yang terus-menerus diterima dari pengusaha dan dilandasi kesadaran akan hak-hak yang harus diperjuangkan.

Bila asumsi hasil penelitian Nurul Aini itu benar maka kajian ini telah merontokkan asumsi konservatif lama tentang partisipasi politik yang selalu mengkaitkan dengan domisili desa-kota dan tinggi-rendahnya status sosial ekonomi.

Kemudian bila berbicara masalah partisipasi politik, partisipasi politik dapat diartikan sebagai keterlibatan (involvement) terhadap kehidupan politik yang diwujudkan dalam bentuk tindakan (action) dan dilakukan secara sukarela (voluntary). Dalam studi partisipasi politik, partisipasi politik juga seringkali didefinisikan sebagai tindakan —bukan keyakinan atau sikap— warganegara biasa, bukan elite politik, untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik, bukan suatu kelompok masyarakat keagamaan tertentu, dan dilakukan secara sukarela, bukan dipaksa.

Partisipasi politik bukanlah sejenis kepercayaan atau keimanan, tapi juga bukan sikap seseorang terhadap sesuatu. Partisipasi politik membutuhkan tindakan individu. Ia telah mencapai pada level psikomotorik seseorang yang diwujudkan dengan perbuatan, bukan lagi pada level kognitif dan afektif. Kemudian secara sederhana, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua:

  1. Partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga.

  2. Partisipasi secara non-konvensional. Artinya, prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri .

Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warganegara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.

Sementara bentuk partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya, menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas umum. Selain itu, partisipasi politik dapat pula mengambil bentuk yang aktif dan yang pasif; tersusun mulai dari menduduki jabatan dalam organisasi sedemikian rupa, sampai kepada memberikan dukungan keuangan dengan jalan membayar sumbangan atau iuran keanggotaan. Kegiatan pemberian suara dapat dianggap sebagai bentuk partisipasi politik aktif paling kecil (lihat gambar 1.1), karena hal itu menuntut suatu keterlibatan minimal, yang akan berhenti jika pemberian suara telah terlaksana.

Selain membicarakan masalah partisipasi politik aktif, ada baiknya juga perlu dijelaskan macam-macam alasan mereka tidak ikut serta dalam kegiatan politik. Ketidakikutsertaan mereka ini, dapat disebabkan oleh alasan yang berbeda-beda. Penyebab ketidakikutsertaan mereka ini dapat disebabkan:

  1. Apati (masa bodoh), secara sederhana diartikan sebagai tidak punya minat atau perhatian terhadap orang lain, situasi atau gejala-gejala disekitarnya. Mengapa mereka memiliki sikap apatis, paling tidak ada 3 alasan pokok untuk menerangkan adanya apatis:

    1. Adanya konsekuensi yang ditanggung dari aktivitas politik. Hal ini dapat mengambil beberapa bentuk: individu dapat merasa, bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai aspek kehidupannya. Umpamanya; aktivitas politik yang ia ikuti dikuatirkan akan dapat mengancam eksistensi keluarganya; posisi sosialnya akan terganggu atau rusak dan lain sebagainya.

    2. Adanya anggapan aktivitas politik yang dilakukannya hanya akan sia-sia saja. Sebagai individu tunggal ia tidak mampu mempengaruhi iklim politik, ia merasa bahwa kekuatan politik selalu berada di luar kontrol dirinya sehingga apapun yang ia lakukan dianggap hanya akan sia-sia saja.

    3. Kehidupan politik dianggap kurang begitu memuaskan, partisipasi politik dianggap sebagai hasil yang sama sekali tidak layak bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan kebutuhan materinya.

  2. Sinisme, seperti halnya apati, meliputi kepasifan dan ketidak aktifan relatif, merupakan satu sikap yang dapat diterapkan baik pada aktivitas maupun ketidak aktifan. Secara politis sinisme menampilkan diri dalam bentuk; perasaan bahwa politik itu kotor, menjadi politisi itu tidak dapat dipercaya dan lain sebagainya.

  3. Alienasi politik sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berfikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa, yang dilakukan oleh orang lain untuk orang-orang lain, mengikuti sekumpulan aturan-aturan yang tidak adil. Dianggapanyalah bahwa kegiatan politik yang dilakukan oleh penguasa hanya menguntungkan mereka saja, tetapi tidak bagi dirinya.

  4. Anomie, perasaan kehilangan nilai dan ketiadaan arah, dalam mana individu mengalami perasaan ketidak efektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak perduli yang mengakibatkan devaluasi daripada tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.


3. Kegunaan partisipasi politik dalam kehidupan sehari-hari

Khusus di bidang politik, masih ada anggapan bahwa dunia politik itu identik dengan dunia maskulin dan penuh intrik. Anggapan ini muncul akibat adanya “image“ yang tidak sepenuhnya tepat tentang kehidupan politik; yaitu bahwa politik itu kotor, keras, penuh intrik, dan semacamnya, yang diidentikkan dengan karakteristik laki-laki. Selain itu pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik juga cenderung masih rendah. Akibatnya, jumlah masyarakat yang terjun di dunia politik kecil, termasuk di negara-negara yang tingkat demokrasinya dan persamaan hak asasinya cukup tinggi. Sebenarnya partisipasi politik masyarakat sangat penting berkaitan dengan:

  1. Partisipasi politik masyarakat dapat diarahkan untuk mengubah keputusan-keputusan penguasa, juga menggantikan atau bahkan mempertahankan suatu kekuasaan.

  2. Dalam bentuk institusi, partisipasi politik dapat diarahkan untuk mengubah ataupun mempertahankan organisasi sistem politik yang sudah ada, beserta aturan-aturan permainan politiknya.

Selain apa yang dijelaskan di atas, ada beberapa faktor Pendukung dan Penghambat Terhadap Peran Partai Politik dalam Peningkatan Partisipasi politik Masyarakat. Faktor-faktor pendukung bagi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:

  1. Masih diterimanya Pancasila serta pembukaan UUD 1945 dan keinginan untuk mengamandemen UUD 1945 merupakan wujud kesadaran berpolitik yang berakar kepada demokratisasi;

  2. Masih berjalan dan kuatnya struktur politik dengan semakin mantapnya kearah demokratisasi;

  3. Makin tingginya kesadaran politik masyarakat, ditunjukkan dengan pelaksanaan pemilu yang berlangsung aman, langsung, umum, bebas dan rahasia; dan

  4. Masih tingginya atensi politik terhadap penyelenggaraan kepemimpinan nasional, menunjukkan sikap mengarah kedewasaan berpolitik.

Faktor-faktor penghambat bagi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:

  1. Masih kurang ditaatinya peraturan, perundangan tentang mengeluarkan pendapat dan berkumpul serta masih diragukannya RUU KKN walaupun sudah diperbaiki dan disempurnakan;

  2. Kurangnya dilaksanakan dalam sikap dan tindakan yang lebih mengutamakan kepentingna nasional, dapat mengakibatkan melesetnya arah ketujuan nasional;

  3. Proses demokrasi dengan partai yang sangat banyak dapat memungkinkan lambatnya proses politik;

  4. Kemenangan pro kemerdekaan di Timor Timor menyebabkan suhu politik semakin hangat, ditambah masalah Aceh dan Ambon yang belum tuntas menyebabkan elit politik menggunakan suasana tersebut untuk mendapatkan keuntungan bukan justru memecahkan permasalahan;

  5. Masih adanya ide sparatis yang justru timbul pada saat situasi politik dan ekonomi lemah, serta dihadapkannya TNI dan Polri dalam front politik serta keamanan yang sangat luas.

Sedangkan faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat dapat diidentifikasikan antara lain:

  1. Faktor Sosial Ekonomi ; Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.

  2. Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :

    1. Komunikasi Politik, antara pemerintah (parpol) dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika

    2. Kesadaran Politik, menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan.

    3. Pengetahuan Masyarakat terhadap Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil

    4. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu. Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik, kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat, untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan politik .

  3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik individu sebagai sumber kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaganya.

  4. Faktor Budaya, Budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, etika politik maupun teknik penerapannya. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.


4. PENUTUP.

Beberapa permasalahan penting yang sekiranya dapat diangkat sebagai suatu deskripsi indikatif yang merupakan titik-titik tegas dari keseluruhan substansi yang dibahas antara lain adalah:

  1. Peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat khususnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen, dan sarana pengatur konflik masih belum optimal. Dalam rangka untuk mengoptimalkan peran partai politik tersebut telah disampaikan konsepsi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat, antara lain melalui pembangunan sistem kehidupan yang demokratis dan stabil yang dijabarkan dalam strategi pengembangan partisipasi politik masyarakat dan pembenahan mekanisme hubungan antar komponen dalam sistem politik; dan dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk upaya restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik dan berbagai aspek yang terkait.

  2. Untuk menjamin berjalannya peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat secara optimal, diperlukan keselarasan dan keseimbangan hubungan antar kekuatan sosial politik dan keseimbangan serta keselarasan peran partai politik itu sendiri baik sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, maupun sebagai sarana pengatur konflik. Hal yang terakhir ini perlu digaris bawahi karena keempat peran tersebut pada hakikatnya saling terkait dan bersifat saling mendukung satu dengan yang lain.

  3. Prospek perkembangan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat sangat tergantung pada kondisi politik secara makro dan tingkat kedewasaan elit politik dalam memainkan perannya sebagai penggerak dan pengorganisasi komponen komponen politik dan kemasyarakatan. Tingkat kesadaran politik rakyat yang sudah cukup tinggi yang terrefleksi dari keberhasilan dalam pelaksanaan Pemilu secara jurdil, luber, dan aman; tidak boleh diposisikan pada situasi yang justru mengakibatkan berbaliknya ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik. Sebab hal itu akan sangat menyulitkan dalam upaya peningkatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat.

  4. Dalam rangka penguatan peran partai politik untuk peningkatan partisipasi politik masyarakat, harus didahului atau terlebih dahulu harus diberdayakan partai politik itu sendiri dalam kancah percaturan politik nasional dengan menempatkannya pada posisi yang kuat dan memiliki daya tawar yang cukup memadai. Caranya adalah dengan restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik baik yang menyangkut struktur, mekanisme, budayanya, serta kapasitasnya dalam melakukan fungsinya sebagai saluran komunikasi politik.


Daftar Rujukan.

Arbi Sanit, Ormas dan Politik, Lembaga Studi Informasi dan Pembangunan, Jakarta, 1995

Bruce M Russett, et al. World Bank Hand Book of Political and Social Indication, New Haven, Conn, 1964.

Gabriel A. Almond dan Sydney Verba, The Civic Culture, Princeton, 1963

Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, alih bahasa Kartini Kartono, CV Rajawali Jakarta, 1983

Morris Rosenberg, Some Determinant of Political Apathy, Public Opinion Quarterly, 1954 349-366

Samuel P Huntington dan Joan M.Nelson, Partisipasi Politik Tak Ada Pilihan Mudah, PT. Sangkala Pulsar, Jakarta, tanpa tahun.


1 Anonim, Status Sosial Ekonomi Tidak Pengaruhi Partisipasi Politik, Harian Kompas 2 Agustus 2002