Kamis, Mei 15, 2008

Mengapa Kesadaran Hukum Kita Rendah?

Publikasi Harian Sriwijaya Post Selasa 29 April 2003

Achmad Hidir


TIDAK salah bila Robert Seidman mengatakan dalam bukunya The State Law and Development (1978) bahwa seseorang barangkali akan mematuhi undang-undang atau aturan hukum, bila kebaikan atau keuntungan dari kepatuhannya itu melebihi kerugiannya bila ia melanggar hukum. Artinya, aturan hukum itu memiliki subjektivitasnya masing-masing bagi si pelaku dalam menjalankan aturan hukum itu. Sementara itu, banyak juga orang berpendapat, bahwa kepatuhan pada hukum itu dipengaruhi oleh teladan yang diberikan oleh para penegak hukum (reference group), seperti misalnya; jaksa, hakim, atau aparat kepolisian.
Dengan demikian, para penegak hukum dianggap oleh warga masyarakat sebagai kalangan yang paling tahu tentang seluk-beluk hukum, termasuk penegakkannya. Maka dapatlah dimengerti bahwa keresahan pasti akan timbul apabila ada penegak hukum yang melanggar hukum, atau menjadi backing dari suatu tindakan pelanggaran hukum.
Sebenarnya, secara psikologis, warga masyarakat mematuhi aturan hukum (termasuk aturan dan rambu - rambu lalu lintas) karena ada semacam rangsangan untuk menaatinya yang menimbulkan rasa takut. Kecuali itu, mungkin kepatuhan hukum disebabkan oleh karena yang bersangkutan juga ingin memelihara hubungan baik dengan lingkungan sosial atau penguasa (dalam hal ini mungkin aparat atau pemerintah). Selain itu sebenarnya, masih ada faktor lain yang turut mempengaruhi mengapa seseorang patuh pada hukum; yakni sesuainya nilai-nilai hukum dan aturan hukum dengan aspirasi yang tumbuh di kalangan masyarakat. Dari hal-hal inilah kiranya akan timbul bentuk-bentuk kepatuhan masyarakat terhadap hukum.
Namun tak disangkal, adakalanya pula masyarakat mematuhi aturan hukum disebabkan karena terpaksa (baik terpaksa karena sukarela atau tidak). Dikatakan terpaksa karena tidak sukarela karena memang tidak jarang seseorang atau katakanlah aparat memiliki kekuatan secara fisik dan non-fisik yang dapat mempengaruhi setiap warganya untuk patuh.
Dengan demikian, maka dapatlah dimengerti mengapa masih ada seseorang — katakanlah sopir Angkot/taksi yang masih mau melanggar rambu-rambu lalu lintas, sementara di lain waktu ia malah demikian patuh untuk menaati rambu-rambu lalu lintas. Fenomena ini menjelaskan, bahwa seringkali kepatuhan terhadap hukum itu muncul manakala ada petugas atau manakala ada pengawasan yang ketat.
Dari fenomena itu, pertanyaan yang muncul adalah; Apakah ini menunjukkan bahwa kesadaran hukum masyarakat kita masih rendah ? Untuk menjawab masalah ini tidaklah mudah dan sederhana. Karena kesadaran hukum menyangkut efektivitas, dan berfungsinya hukum sangat tergantung pada keefektivitasan menanamkan hukum tadi, kemudian reaksi masyarakat dan jangka waktu untuk menanamkan ketentuan hukum tersebut. Artinya, sepanjang masyarakat belum mengerti dan belum paham arti hukum yang ditanamkan maka sepanjang itu pulalah pelanggaran hukum akan terjadi.
Jadi proses kesadaran hukum merupakan suatu proses psikis yang terdapat pada diri manusia, yang mungkin muncul atau mungkin juga tidak. Karena masing-masing warga mempunyai rasa keadilannya sendiri-sendiri. Disadari atau tidak bahwa kesadaran hukum dalam masyarakat sebenarnya sangat tergantung pada iklim dan contoh dari aparat penegak hukum. Ambillah ilustrasi misalnya, seorang bapak yang hendak menerapkan disiplin untuk taat sembahyang pada anak-anaknya, sementara ia sendiri tidak pernah memberikan contoh untuk taat sembahyang. Maka tidaklah mungkin seorang anak itu akan taat, kalaupun taat itu hanyalah semu dan hanya seketika bila ada kontrol yang kuat — dalam hal ini mungkin bapaknya.
Menarik untuk disikapi adalah pooling yang dilakukan oleh salah satu TV swasta nasional yang baru lalu, tentang persepsi masyarakat terhadap kepercayaannya pada penegak hukum dan hukum di Indonesia. Hasilnya adalah mayoritas masyarakat tidak percaya lagi pada hukum dan penegak hukum. Indikasi ini sebenarnya menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat pada hukum sudah sangat kurang. Kenapa ?. karena bukti-bukti penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat dan pemerintah secara kasat mata tidak lagi menyentuh rasa keadilan masyarakat. Sebagai contoh sampai saat ini masih banyak konglomerat bermasalah masih berkeliaran, Release & Discharge yang dikeluarkan pemerintah tidak memperhatikan keluhan masyarakat sementara masyarakat dibebani dengan kenaikan harga yang melambung. Bahkan pernah seorang seniman membuat teka-teki pada suatu surat kabar ibukota, ia membuat pertanyaan; apa bedanya penyakit dengan pesakitan ?. Lalu kemudian ia memjawab dengan jenaka, (kalau tidak keliru) bahwa kalau penyakit suatu keadaan yang tidak normal dalam tubuh sedangkan kalau pesakitan kini jadi ketua DPR.
Sementara bila kita saksikan dalam acara derap hukum, buser, atau patroli yang ditayangkan hampir setiap hari oleh TV Swasta telah memperlihatkan; bagaimana seorang aparat menangkap buronan seperti layaknya menangkap hewan buruan yang tidak memiliki naluri manusia. Memang tindakan para penjahat itu perlu dihukum, namun cara penangkapannya itu yang kurang manusiawi, mereka menangkap, memukul, menjambak dan bahkan menendang. Dan itu dipertontonlan secara nyata di TV. Sangat ironis sekali dengan cara penangkapan para koruptor. Contohnya; tatkala Tommy ditangkap bukannya memperoleh pukulan dari aparat justru pelukan dari Kapolda Metro Jaya.
Fenomena ini pulalah yang menimbulkan kritik dari seorang pembaca pada Harian Kompas beberapa waktu yang lalu yang mengatakan tayangan-tayangan yang dipertontonkan pada acara buser, sergap ataupun patroli di TV swasta itu tidak layak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, karena terlalu menekankan pada arogansi aparat dan kekerasan layaknya film detektif Hollywood. Pada hal kenyataannya, hal itu kontradiktif dan kontraproduktif dengan kenyataan di lapangan.
Sebenarnya bila diruntut ke belakang, masalah kriminalitas dan ketidakdisplinan itu adalah manusiawi, karena dalam perilaku manusia itu selalu ada kecenderungan untuk selalu melakukan penyimpangan (deviation). Namun masalahnya kenapa, pada masyarakat yang sangat maju dan modern penyimpangan hukum sangat sedikit ?. atau bila dibalik pertanyaannya; kenapa pada masyarakat yang sangat tradisional dan nyaris primitif pelanggaran hukum yang terjadi juga hanya sedikit ?. Katakanlah, untuk kasus perkosaan pada masyarakat Dani di Irian (Papua) sampai sekarang ini nyaris tidak pernah terdengar. Pada hal dari cara berpakaiannya saja mereka sangat kondusif untuk melakukan perkosaan, kaum laki-laki hanya pakai koteka sementara kaum perempuan nyaris tidak berbaju. Tapi kenapa kasus perkosaan jarang terjadi pada hal secara logika sangat memungkinkan terjadi, karena kaum wanitanya tidak berbaju ?.
Untuk menjawab itu, sebenarnya sederhana saja, yaitu penegakan hukum di kalangan mereka dilaksanakan tanpa pilih kasih. Hukum dipahami tidak hanya sebagai perangkat aturan, tapi juga sebagai regularitas kehidupan mereka. Bila terjadi pelanggaran dan pelecehan terhadap hukum dipahami oleh mereka akan mengancam eksistensi mereka sebagai suku Dani. Maka menjadi kewajiban seluruh masyarakatnyalah untuk taat hukum dan kewajiban ketua adatnya pulalah untuk melaksanakannya secara tegas. Hal yang sama juga dialami oleh suku Badui di Banten Selatan atau orang Kuta di daerah Tambaksari Kabupaten Ciamis yang memenangkan hadiah Kalpataru 5 Juni 2002 lalu, karena ketaatan masyarakatnya pada hukum lingkungan pada pemanfaatan leuweung gede di daerahnya.
Sanksi hukum yang diberikan pada masyarakat tradisional bila terjadi pelanggaran sebenarnya tidaklah terlalu mahal dan sulit, dan mereka sebenarnya dengan mudah saja untuk melanggarnya. Namun kenyataannya mereka tetap mentaati hukum yang berlaku, karena hukum dianggap oleh mereka sebagai regularitas dan ditegakkan dengan konsekuen dan tanpa pilih kasih serta contoh yang baik dari tokoh adat.
Sekarang masalahnya, maukah pemimpin bangsa kita, penegak hukum dan kita semua merenungkan diri, kontemplasi dan melakukan introspeksi serta merefleksikan, sudahkah penegakan hukum itu dilakukan sesuai keinginan masyarakat ?. Bila belum, marilah kita mencontoh masyarakat Dani, warga Kuta atau orang Badui yang menurut orang modern adalah masyarakat kuno dan tradisional. Pada hal sebenarnya merekalah yang modern dalam penerapan sanksi hukum.

Minggu, Mei 11, 2008

FENOMENA JENDER DALAM PENCARIAN JODOH


Oleh : Achmad Hidir


Harus diakui bahwa terbukanya kesempatan pendidikan dan peluang kerja bagi seluruh warga Indonesia, ternyata memberikan peluang bagi penurunan angka usia perkawinan dini. Pergeseran itu dapat dilihat misalnya; dulu, tiga dasawarsa ke belakang usia 15-17 tahun untuk kaum perempuan sudah dianggap usia senja. Orang tua seringkali kuatir bila memiliki anak perempuan seusia ini bila belum juga memiliki pendamping atau calon pendamping. Berbeda halnya untuk masa sekarang, perempuan dalam usia 25 tahun bahkan menjelang 30 tahun masih belum dianggap terlalu tua untuk melangsungkan perkawinan.

Bahkan sebagian orang tua sudah tidak terlalu risau lagi akan perjodohan anak-anak mereka, peran orang tua kini nyaris hanya sebagai pemberi restu saja untuk menyerahkan segalanya kepada anak-anaknya untuk ; kapan, di mana dan dengan siapa mereka hendak menikah. Artinya, telah terjadi pergeseran tentang norma usia perkawinan, istilah perawan tua dan, bujang lapuk sudah tidak populer lagi di kalangan masyarakat kita. Karena sebagian orang tua sudah tidak merasa dipusingkan lagi, bila anak-anaknya yang beranjak dewasa itu belum juga menemukan jodoh, semuanya diserahkan pada keinginan sang anak. Era Siti Nurbaya yang dipaksa menikah oleh orang tuanya yang memaksa kini sudah berubah. Orang tua hanya sebatas pemberi himbauan, saran, dan nasehat selebihnya anak yang menentukan.

Terjadinya fenomena seperti ini tidak terlepas dari perubahan iklim pendidikan baik pada orang tuanya itu sendiri maupun si anak sebagai subyek yang akan menikah. Ikhwal seperti ini juga tidak terlepas dari semakin terbukanya berbagai kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam segala hal yang juga turut merubah cakrawala berfikir masyarakat. Faktor lain adalah adanya perubahan pada kenaikan status sosial ekonomi masyarakat yang signifikan. Ambil contoh, misalnya; untuk rata-rata usia remaja yang mampu menyelesaikan bangku sekolah hingga perguruan tinggi sekarang ini rata-rata mencapai 23-25 tahun. Rentang usia yang relatif demikian panjang yang digunakan untuk pendidikan ini, telah menyebabkan peninggian angka usia kawin pertama, belum lagi bila ditambah dengan keinginan mereka untuk mencari kerja dahulu setelah menamatkan bangku kuliah sebagai wujud aktualisasi diri dan juga keinginan balas budi pada orang tua dengan membantu ekonomi keluarga. Maka konsekuensinya, angka usia perkawinan pertama masyarakat (kaum perempuan) akan semakin tinggi.

Di satu sisi fenomena ini memberikan nilai positif terhadap penurunan angka kelahiran dan angka kematian ibu melahirkan dalam usia muda. Namun di sisi lain, terbukanya akses pendidikan dan peluang kerja --- terutama untuk kaum perempuan --- tampaknya telah memberikan sedikit andil pada diri mereka untuk kesulitan mencari jodoh.

Kesulitan ini dapat dimaklumi karena kesuksesan seorang wanita seringkali menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Karena posisinya sebagai mahluk yang dianggap harus selalu pasif dalam segala hal, termasuk dalam pencarian jodoh. Hasil penelitian Juwita (2002) menunjukkan bahwa kaum perempuan masih banyak menemui kesulitan dalam mencari jodoh dibandingkan rekannya yaitu mahluk yang bernama laki-laki, hal itu karena; (1) masih adanya intervensi keluarga, (2) kriteria yang cocok baginya, belum tentu cocok bagi keluarga, (3) masih adanya sinyalemen, jodoh untuk perempuan harus lebih tua dan lebih sukses dari dirinya, (4) norma masyarakat yang mengharuskan perempuan harus lebih banyak menunggu dan pasif.

Kriteria dan budaya ini mencerminkan bahwa bias jender masih terlihat dalam pemilihan jodoh, bahwa laki-laki harus selalu dalam posisi yang superordinat, dan sebaliknya perempuan harus selalu berada di bawah kendalinya karena dianggap laki-laki adalah calon kepala keluarga. Dan menjadi sungsang bila laki-laki calon kepala keluarga itu ternyata lebih rendah dari calon istrinya. Kenyataan dianggap sungsang ini bukan hanya dilihat dari segi sosial dan ekonominya saja bahkan secara fisikpun sebagian masyarakat masih menganggap suatu keanehan bila calon suaminya lebih pendek dibanding calon istrinya.

Fenomena ini membuktikan bahwa intervensi dan toleransi pemilihan jodoh antara anak laki-laki dan perempuan, meskipun zaman telah banyak berubah namun dalam hal tertentu terutama untuk anak perempuan pihak keluarga masih memiliki batas-batas tertentu “ yang belum dapat “ sepenuhnya toleransikan, seperti misalnya; keagamaan, pendidikan calon suami yang harus lebih tinggi, dan jaminan pekerjaan yang juga harus lebih baik daripada calon istrinya.

Bukti ini didukung oleh Armiyati (2000) tentang hasil penelitiannya, yang mengaitkan antara konflik rumah tangga dengan kesuksesan istri. Ternyata kesuksesan istri yang melebihi suami, seringkali menjadi pemicu perselisihan rumah tangga. Karena suami dalam budaya patriarki, harus selalu dianggap dominan, mereka harus lebih sukses. Kalau kesuksesan suami berada di bawah karier sang istri, maka si suami seringkali dipandang rendah oleh masyarakat serta lingkungannya. Bagi suami yang berjiwa besar mungkin kesuksesan istri dianggap bukan sebagai ancaman bahkan perlu didorong, tetapi bagi sebagian lain yang memiliki jiwa dan pendidikan yang jauh lebih rendah daripada si istri justru banyak mengancam keutuhan rumah tangga mereka.


*****

Selain itu, dalam banyak budaya di Indonesia, dalam pencarian cinta seringkali wanita diposisikan sebagai mahluk yang pasif yang harus menerima dan menunggu. Agresivitas hanya milik kaum laki-laki, sebaliknya kaum laki-laki bila tidak memiliki kesuksesan yang dapat mengimbangi perempuan yang hendak didekatinya seringkali pula merasa kurang percaya diri. Selain itu pihak laki-lakipun seringkali pula merasa kesulitan dan mengalami hambatan yang tidak sedikit dari keluarganya sendiri bila hendak mendekati calon istri yang lebih tua atau bahkan berstatus janda. Pihak keluarga laki-laki seringkali merasa malu bila harus bermenantukan seorang janda sementara anaknya adalah seorang jejaka. Akan berbeda halnya bila seorang duda menikahi seorang gadis hal itu dianggap lumrah-lumrah saja. Maka nyatalah bahwa fenomena ini tidak terlepas dari konstruksi sosial masyarakat yang memang demikian patriarki.

Memang ada sinyalemen, bahwa rezeki, maut dan jodoh adalah urusan illahi. Namun selaku manusia bukankah kita ini diwajibkan untuk ikhtiar dan selalu berusaha, karena jodoh dan rezeki itu tidak akan pernah muncul seketika laksana turun dari langit. Bagi kaum laki-laki mungkin usaha secara agresif dalam pencarian jodoh tidaklah sesulit rekannya kaum perempuan. Hal ini karena konstruksi sosial jender dalam budaya kita yang membedakan, laki-laki bersifat agresif sementara perempuan haruslah bersifat pasif. Oleh sebab itu, laki-laki setua apapun kalau belum menikah atau hendak menikah relatif masih dianggap wajar, berbeda dengan kaum perempuan. Perempuan bila terlalu tua belum juga menikah atau baru hendak menikah akan selalu muncul kendala budaya yang tidak ringan.

Bagaimanapun juga, konstruksi sosial perempuan dalam budaya kita kenyataannya masih belum banyak berubah. Perempuan, mungkin juga karena kodratnya atau juga karena reproduksi budaya kita yang mengharuskan bersifat pasif dalam mencari jodoh. Sehingga mengharuskan mereka harus selalu menjadi wadah yang harus menerima dan menunggu. Ekspresi agresif untuk mencari jodoh dan bercinta dalam budaya kita untuk kaum perempuan relatif belum banyak dikenal. Ekspresi kegelisahan dalam pencarian jodoh untuk pasangan hidup sebenarnya manusiawi, apalagi dalam usia yang sudah tidak terlalu muda lagi. Bagi kaum perempuan yang sudah beranjak tua yang belum menikah, mereka harus bersaing dengan perempuan-perempuan lain yang baru tumbuh dewasa dan relatif muda yang jumlahnya terus semakin banyak.

Karena manusia itu hidup butuh teman untuk berbagi rasa, maka institusi perkawinan adalah jalan yang harus ditempuh. Kenyataan untuk menempuh institusi ini tidaklah mudah, karena diperlukan tidak hanya persiapan secara materi saja tetapi juga mental dan pasangan yang cocok. Apalagi untuk kaum perempuan yang secara konstruksi budaya kita tidak banyak pilihan dalam menentukan jodoh dan harus bersifat pasif. Oleh karena adanya sumbatan budaya seperti itu, maka kaum perempuan mengekspresikan kegelisahan dan pencarian jodohnya itu melalui katup yang lain secara tidak langsung. Untuk fenomena itu terwujud dan tampak nyata, misalnya; dalam beberapa rubrik konsultasi media massa, salah satunya adalah acara yang ditayangkan oleh stasiun TV swasta yang bermarkas di Surabaya yang mencoba menayangkan acara konsultasi spritual. Dari amatan dalam acara itu tampak bahwa kaum perempuan yang mencoba berkonsultasi dalam acara itu selalu bertanya pada kisaran masalah perjodohan, sementara untuk kaum laki-laki lebih banyak bertanya tentang masalah pekerjaan dan karier. Demikian juga hasil penelitian Harapan dan Hidir (2000) tentang wanita dan perdukunan di daerah Riau juga menunjukkan bahwa kaum perempuan banyak berkonsultasi pada seorang paranormal karena urusan masalah perjodohan.

Selain itu ada satu fenomena menarik, menurut laporan Kompas 22 Desember 2002 lalu, bahwa kaum wanita perkotaan kini sangat menggemari rubrik jodoh dalam beberapa media massa. Kontak jodoh atau biro jodoh dalam beberapa media massa kita sudah banyak yang menyediakan sarana seperti ini. Bahkan menurut laporan Kompas, beberapa surat kabar mingguan secara rutin telah menyelenggarakan rubrik seperti ini. Rubrik ini semakin hari semakin diminati masyarakat. Mengapa ?. karena diyakini bahwa alternatif penyediaan rubrik seperti ini, banyak membantu orang sibuk di kota mencari jodoh dan cara yang paling aman dan bersifat kamulfalse dalam mencari jodoh.

Namun anehnya, peserta yang menjadi langganan rubrik inipun kebanyakan kaum perempuan. Jumlah total anggota perempuan yang terdaftar di Yasco untuk perempuan adalah 9.634 orang, sementara jumlah anggota laki-lakinya hanya mencapai 5.311 orang, Bahkan biro jodoh Yasco ini pernah membatalkan acara rekreasi yang sudah mereka rancang sebelumnya untuk ajang pertemuan (kopi darat) sesama anggota, hanya karena mayoritas pendaftarnya adalah kaum perempuan. Demikian juga untuk rubrik jodoh yang diselenggarakan Grasco juga sama 70 % anggotanya adalah perempuan.

Ikhwal seperti itu, adalah wajar-wajar saja karena orang-orang di kota besar sekarang ini terlalu sibuk bekerja, mengejar karier sehingga lupa bersosialisasi. Namun mengapa pesertanya banyak kaum perempuan ?. Untuk menjawab fenomena ini perlu dikaji lebih jauh, namun paling tidak hal ini menunjukkan bahwa kaum perempuan sebenarnya tidak pasif dalam mencari jodoh bahkan cukup agresif dalam mencari jodoh hal ini ditunjukkan dengan usahanya itu. Terlepas keinginannya itu hanya karena iseng atau betul-betul sungguhan. Di sisi lain kesibukan mereka bekerja dari pagi hingga menjelang sore telah banyak melewatkan kesempatan mereka untuk bergaul dan bersenda-gurau dengan lawan jenisnya. Sementara dalam situasi kerja “ mungkin saja “ teman-teman mereka di tempat kerjanya itu sudah mereka anggap seperti saudara sendiri. Atau kalaupun ada kecocokan seringkali pula ada ketentuan yang tidak tertulis bahwa laki-laki dan perempuan dilarang menikah dalam satu kantor. Hal ini tentunya menyebabkan preferensi pemilihan pasangan dalam satu kantor menjadi sedikit tersumbat. Selain itu masih ada beberapa kantor atau pabrik yang memisahkan lokasi kerja antara perempuan dan laki-laki. Pemisahan ini karena memang kebutuhan atau mungkin juga karena sebab lain, tetapi tentunya tetap turut mempersempit sosialisasi diantara mereka.

Kembali pada masalah mencari jodoh melalui kontak jodoh, internet ataupun melalui perantaran orang ketiga untuk masa sekarang ini bukanlah aib. Karena jodoh sebagaimana maut dan rezeki datangnya selalu tidak diduga dan disangka. Siapa tahu melalui kontak jodoh ketemu jodoh. Ya. Silakan saja !.


Malang, 2 Mei 2003


Jumat, Mei 09, 2008

Publikasi Harian Kompas Senin 3 Maret 2003

Bias Jender dalam Infertilitas

* Achmad Hidir


KARENA potensinya yang sungguh menentukan bagi kelestarian eksistensi manusia di muka Bumi, maka sosok perempuan selalu di-"rekayasa" secara kultural untuk bisa dan bersedia menjadi ibu. Oleh sebab itu, konsep perempuan sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya, ratu yang cakap dalam rumah tangga, nyata di negeri ini masih tetap bertahan dan dipertahankan sekalipun zaman telah berubah dengan cepat.

Itulah sebabnya mengapa dalam banyak literatur sosiologi (terutama sosiologi keluarga) selalu disebutkan bahwa keluarga selain sebagai agen sosialisasi juga berfungsi sebagai wahana prokreasi. Fungsi prokreasi adalah meneruskembangkan generasi penerus keluarga melalui kelahiran anak-anak. Oleh karenanya, seringkali data penelitian menunjukkan, kebanyakan perempuan ingin kawin didasari adanya perasaan cinta dan juga didorong keinginan memperoleh keturunan dari orang yang dicintai. Dalam perjalanan, seringkali alasan kawin karena cinta berubah karena dorongan sifat keibuannya (ingin jadi ibu) lebih besar daripada keinginan menjadi istri.

Indikasi ini seringkali terlihat dalam rubrik konsultasi seks dan keluarga dalam berbagai media massa yang banyak mengilustrasikan kegelisahan seorang istri (perempuan) karena belum juga mendapat kehamilan, sementara usia perkawinan sudah bertahun-tahun.

Dalam banyak budaya di Indonesia, nilai anak memang masih memiliki arti penting. Selain memiliki fungsi ekonomi, anak juga memiliki fungsi sosial. Memiliki anak yang baik berhasil memiliki gengsi tersendiri dan secara ekonomi juga dianggap menguntungkan sebagai investasi masa tua.

Ketiadaan anak dalam perkawinan pada waktu lama akan menjadi masalah, karena ada keyakinan keadaan ini akan mengancam keutuhan rumah tangga. Bahkan, penelitian Hull dan Tukiran (1976) mengenai hal ini menemukan bahwa (1) pasangan yang tidak memiliki anak kemungkinan akan mengalami perceraian, (2) pihak perempuan selalu dicap sebagai orang yang tidak berguna, (3) pasangan infertilitas menghabiskan banyak waktu dan biaya untuk pengobatan mereka. Padahal, masalah kemandulan ini seperti disebutkan Sundari 91979) tidak hanya menyangkut kesehatan fisik semata-mata, tetapi juga berdampak psikologis dan sosial bagi pasangan yang mengalaminya. Dan dampak psikologis ini paling banyak dialami kaum perempuan, karena pergaulannya dengan sesama kaum ibu yang rata-rata mungkin sudah memiliki anak. Bahkan di beberapa daerah dan budaya, kemandulan sering merupakan pemicu terjadinya ketidakharmonisan rumah tangga yang berakibat pada perceraian.

PERCERAIAN ini secara normatif dilegitimasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana dinyatakan pasangan suami-istri boleh melakukan perceraian atau menikah lagi bila istri tidak sanggup lagi menjalankan kewajibannya atau memiliki cacat/kelainan tetap.

Dampak lanjutan dari situasi perceraian ini adalah pemberian label yang tidak menguntungkan pada kaum perempuan. Perempuan menjadi janda dan laki-laki menjadi duda. Label janda dan duda sebenarnya memiliki nilai yang sama secara sosial, namun secara budaya konotasi "janda" akibat perceraian selalu berkonotasi negatif di mata masyarakat. Terlebih bila janda itu muda dan tak memiliki anak.

Oleh karena demikian pentingnya nilai anak dalam budaya dan masyarakat Indonesia, maka keberadaan anak dalam suatu rumah tangga masih sangat demikian penting. Hal ini bukan hanya karena penerimaan yang baik pada mereka yang mampu melahirkan anak (meneruskan keturunan keluarga), tetapi juga karena sumbangan sosial dan ekonomi bagi rumah tangga .

Dalam banyak literatur, seringkali dinyatakan kaitan antara perkawinan dan fertilitas sangat erat (seperti di Indonesia), karena pada sebagian besar masyarakat proses reproduksi hanya akan diizinkan bila terjadi dalam institusi perkawinan. Namun, kenyataan seringkali menunjukkan bahwa selama proses perkawinan tidak selamanya pasangan langsung memiliki dan dikaruniai anak sebagaimana diidam- idamkan.

Dalam keadaan demikian, fungsi keluarga sebagai prokreasi (penerus keturunan) dan fungsi sosialisasi (mendidik dan membudayakan) menjadi terhenti dan tersumbat. Karena bila terjadi seperti ini, masih dianggap sungsang dalam budaya Indonesia yang patriarki. Keberhasilan laki-laki bila mampu "menghamili" pasangannya dianggap sebagai prestasi keperkasaan. Namun, bila kehamilan tidak kunjung terjadi, maka dengan serta-merta kesalahan tertuju pada kaum perempuan (istri).

Hal ini semakin memojokkan posisi perempuan dalam situasi yang secara psikis dan sosial tidak beruntung. Bahkan dalam beberapa suku tradisional, seringkali kaum perempuan (istri) yang tidak mampu memberikan anak dianggap sebagai perempuan laknat dan harus dibuang atau dikucilkan.

Kalaupun istri mampu memberikan anak kepada pasangannya, istri tidak luput dari eksploitasi budaya. Istri harus segera membenahi dirinya untuk melayani suami, dengan cara minum jamu, obat, dan lain sebagainya, yang semuanya bermuara pada pengabdiannya untuk suami dan keutuhan keluarga.

Dalam konteks budaya patriarki yang demikian dominan, bila terjadi kemandulan seringkali yang disalahkan adalah kaum perempuan karena kodratnya sebagai yang mampu hamil. Padahal fungsi reproduksi sebenarnya bukan hanya milik kaum perempuan semata. Kaum laki-laki pun memiliki kontribusi sama.

Ironisnya lagi, seringkali pula dianggap kaum perempuanlah yang harus rajin berobat. Ini bisa dilihat dari banyaknya tawaran pengobatan alternatif di berbagai media massa yang banyak diarahkan pada kaum perempuan. Sementara pengobatan alternatif yang ditawarkan untuk kaum laki-laki selalu mengarah pada solusi untuk keperkasaan dan kejantanan.

Ambiguitas Pendidikan Seks di Indonesia

(Antara Tabu dan Realita)

Oleh : Achmad Hidir,

Prawacana.

Pembicaraan yang berkenaan dengan masalah seks di dalam banyak budaya masyarakat kita masih selalu dianggap sesuatu yang tabu dan perlu dihindari. Mengapa ?. karena pembicaraan seks di mata masyarakat kita selalu diartikan dalam arti yang sempit, hanya seputar kegiatan seksual yang mengarah pada persetubuhan atau reproduksi saja. Selain itu ekspresi seksualitas dalam bentuknya yang nyata, seperti dalam unsur seni, misalnya film, fotografi, tarian dan lain sebagainya seringkali pula memberikan makna subyektif bagi sebagian masyarakat. Maka muncullah istilah “pornografi” di mana istilah inipun sangat relatif sifatnya. Kerelatifannya itu dapat diukur dari ukuran pantas atau tidaknya sesuatu ekspresi seksual yang dapat dilihat terutama menyangkut konsep aurat dari seorang manusia.

Oleh karena sifatnya yang sensitif dan relatif inilah, maka pembicaraan seks menjadi tabu dan terkesankan selalu mengarah pada konteks yang disebut dengan porno. Sehingga dalam banyak diskusi, tulisan dan pembicaraan umum tampaknya lebih menarik kalau topik pembicaraannya sekitar masalah; kemiskinan, politik, ekonomi, atau masalah pendidikan. Karena bila pembicaraan mulai mengarah pada masalah seksualitas, maka segera akan terjebak pada dua konsep tadi, yakni tabu dan porno.

Pada hal topik pembicaraan masalah seks sebenarnya tidak kalah menariknya untuk dibicarakan. Bukti demikian menariknya pembicaran seks, hal ini dapat dilihat dari antusiasme masyarakat dalam berbagai acara seminar dan talk show, yang selalu banyak dipenuhi oleh masyarakat dari berbagai golongan. Selain itu, pembicaraan masalah seks, sebenarnya adalah sesuatu pembicaraan yang riil karena seksualitas menjadi inti dari seseorang dari sekian banyak atribut (status) manusia, selain pendidikan, umur, pekerjaan ataupun sukubangsa. Dan yang pasti setiap orang apapun status sosialnya pasti memiliki atribut seksnya.


Mengapa Pembicaraan Seksualitas Menjadi Menarik ?.

Pembicaraan masalah seksualitas menjadi menarik, karena ekspresi seksualitas di dalam dunia manusia itu diatur secara budaya, dan dikemas oleh aturan moralitas, tabu dan berbagai upacara inisiasi. Seks adalah keadaan anatomi biologis manusia yang dibawa oleh seseorang secara alami. Seks seringkali dibedakan dalam dua bentuk yaitu perempuan dan laki-laki. Sedangkan gender yang kini sudah populer di Indonesia, lebih merupakan ekspresi psikologis yang dibungkus oleh kultural sebagai hasil ikutan dari jenis kelamin (seks) seseorang tadi. Artinya, seseorang dapat mengekspresikan orientasi seksualnya melalui gender yang dimilikinya. Di indonesia, gender seringkali dibagi dalam 3 kategori, yakni; laki-laki, perempuan dan banci (Julia Suryakusuma,1991).

Dalam budaya-budaya lama di Indonesia ataupun di berbagai daerah lain di dunia mitos tentang seksualitas telah lama hidup dan subur. Dan telah lama juga menarik perhatian masyarakat itu di zamannya. Bukti-bukti ke arah itu dapat dilihat dari relief-relief pada candi-candi kuno di Indonesia, buku-buku primbon, kamasutra, dan berbagai kepercayaan masyarakat tentang khasiat obat-obatan tradisional dan mantra-mantra yang diyakini dapat meningkatkan seksualitasnya. Berbagai kegiatan upacara inisiasi dalam kaitannya dengan seksualitaspun sampai saat ini tampaknya masih banyak dalam masyarakat kita yang tetap mempraktekkannya.


Seberapa Pentingkah Pendidikan Seks?.

Masalah pendidikan seks sampai saat ini masih sedikit untuk dibicarakan, kalaupun ada masih terbatas pada kalangan tertentu saja. Pada hal seksualitas adalah landasan kehidupan sosial yang seringkali sangat menentukan kehidupan masyarakat di masa depan. Kesalahan penyebaran informasi yang keliru pada masyarakat akan berdampak kehancuran tatanan kehidupan sosial. Ini disebabkan karena seks itu sendiri bersifat alami dan kebutuhan ekspresi seksualitas itupun pasti dialami oleh setiap orang, sementara pembicaraan seks masih dianggap sesuatu yang tabu. Maka konsekuensinya, banyak kaum remaja yang mencari informasi tentang kehidupan seksualitasnya menjadi tak terarah dan banyaknya terjadi kesalahpahaman tentang kehidupan seksualitasnya.

Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis bersama rekan-rekan dari Pusat Penelitian Kependudukan Unri tahun 2000 lalu di Kota Batam, tentang kesehataan reproduksi remaja dan pemahamannya terhadap seksualitas sangat menarik untuk disimak. Dari hasil beberapa temuan itu, penulis sangat tersentak. Mengapa ?, karena ternyata banyak kaum remaja yang nota bene sebenarnya telah matang dalam proses reproduksi namun tidak banyak memahami masalah-masalah seksualitas. Kalaupun ada namun pemahaman itu keliru dan lebih banyak mereka peroleh dari hasil pengalaman rekan-rekan mereka. Bukti untuk itu misalnya, masih banyaknya kalangan remaja yang memiliki persepsi dan pemahaman yang keliru tentang proses terjadinya konsepsi, jenis dan gejala PMS dan HIV/AIDS, akibat aborsi, jenis-jenis ISR, masturbasi dan juga jenis serta fungsi alat dan obat kontrasepsi.

Banyak dari mereka (remaja ini) tidak diiringi dengan pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang berbagai perilaku seksual dengan segala konsekuensinya, tetapi justru lebih banyak dipengaruhi oleh nilai budaya baru yang permissive terhadap seks bebas. Arus informasi yang demikian terbuka dengan banyaknya media massa yang memberikan akses pada mereka untuk menikmati suguhan pornografi dewasa ini telah demikian banyak. Sementara kesempatan pendidikan yang lebih luas, baik untuk kaum wanita maupun pria untuk memasuki jenjang pendidikan tinggi semakin terbuka sebagai akibat kemampuan sosial ekonomi keluarganya. Sehingga menimbulkan terjadinya diskrepansi antara kematangan biologis dengan kematangan sosial.

Yayah Khisbiyah (1997) dari hasil studinya itu, menjelaskan bahwa insiden kehamilan pranikah di kalangan remaja terjadi secara proporsional pada kategori status sosial ekonomi rendah, menengah dan atas serta mereka juga berasal dari keluarga yang dipersepsikan sendiri secara harmonis. Temuan hasil studinya itu telah merontokkan asumsi konservatif yang selalu mengatakan bahwa kenakalan dan perilaku menyimpang di kalangan remaja itu selalu berawal dan berasal dari situasi broken home, kemiskinan, kurangnya pendidikan dan berbagai alasan lainnya.

Dari berbagai hasil studi itu, dapat disimpulkan bahwa; perilaku seks pranikah di kalangan remaja ini kenyataannya tidak ditunjang dengan pengetahuan dan pemahaman yang memadai, sehingga menimbulkan banyaknya kasus-kasus unwanted pregnancy dan korban dari perilaku seks yang tidak bertanggung jawab. Lebih dari itu, akibat dari perilaku seperti ini tidak saja merugikan individu remaja itu sendiri, tetapi juga sangat merugikan keluarga dan masyarakat dalam tataran yang lebih luas.

Situasi ini semakin diperparah dengan arah perkembangan dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat ternyata tidak diiringi dengan penambahan pemahaman dan pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan miskinnya pelayananan dan bimbingan tentang berbagai hal berkaitan dengan masalah-masalah hubungan antar jenis.

Hasil studi yang dilakukan berkaitan dengan kesehatan reproduksi di beberapa daerah menunjukkan bahwa masih banyak di kalangan masyarakat kita yang belum mengerti tentang terjadinya proses kehamilan, upaya mencegah kehamilan, cara penggunaan alat kontrasepsi, penularan PMS, jenis dan fungsi alat kontrasepsi dan lain sebagainya yang akibat ini semua akan berdampak pada kualitas kesehatan reproduksi mereka.

Penyebab ini semua disebabkan oleh multi faktor, namun yang utama karena masih adanya kesalahpahaman dan pengertian yang keliru perihal masalah-masalah organ dan hubungan seksual. Sehingga semakin marak timbulnya TFR di kalangan remaja, angka aborsi (termasuk unsafe abortion), penyalahgunaan narkoba dan maraknya HIV/AIDS. Sementara di sisi lain untuk membicarakan masalah-masalah itu dalam budaya kita masih dianggap tabu. Bila kondisi seperti itu, maka tampaknya pendidikan seks yang bertanggung jawab menjadi penting untuk dilakukan.


Perlukah Pendidikan Seks Di Rumah dan di Sekolah ?.

Rendahnya pemahaman dan pengetahuan remaja dalam kesehatan reproduksi tidak terlepas dari peran pendidikan formal dan informal di rumah. Untuk peran pendidikan formal perlu kiranya segera dibentuk kurikulum yang mencoba memberikan proses pembelajaran berkaitan dengan masalah kesehatan reproduksi dan pendidikan seks yang sehat dan produktif serta bertanggung jawab. Artinya, untuk jenis pelajaran-pelajaran yang relevan, semisal biologi perlu dijelaskan pula tentang fungsi reproduksi dengan segala dampak negatif positifnya termasuk PMS, HIV/AIDS. Tidak perlu terlalu vulgar namun masih dalam tatanan budaya Indonesia. Laksana seorang dokter hendak mengoperasi pasiennya. Bukankah seorang dokterpun kalau hendak mengoperasi pasiennya katakanlah bagian perutnya, maka bagian lainnya akan ditutup dan hanya yang dibuka bagian yang diperlukannya saja ?. Hal ini karena pendidikan seks masih ditabukan di sekolah, maka perlu dicarikan alternatif tanpa secara ekplisit (Dede Oetomo, 1993). Apalagi dalam UU Sisdiknas pun belum secara nyata mengedepankan pentingnya muatan pendidikan seks ini.

Sementara itu, khusus remaja muslim banyak temuan di lapangan mereka mengalami menstruasi dan mimpi basah tetapi mereka tidak tahu bagaimana tertibnya untuk melakukan mandi junub. Hal ini juga karena tidak pernah mereka diajarkan oleh orang tuanya dan guru agamanya di sekolah. Sementara bagi mereka sendiri untuk mencari tahu dan bertanya masih memiliki rasa malu. Terlebih pada guru dan orang tuanya. Adanya sumbatan akan pembicaraan seksualitas menyebabkan ketidaktahuan mereka. Maka saat ini perlu kiranya kita segera membuka sedikit kran untuk pembicaraan seks yang bertanggung jawab di dalam rumah dan sekolah-sekolah karena zaman telah berubah demikian cepat.

Apalagi diyakini banyak para ahli di Amerika, bahwa keharmonisan keluarga dapat mengurangi tindak perilaku seks di luar nikah dan kehamilan yang tak dikehendaki di kalangan remaja. Ini dapat dibuktikan dari laporan salah satu media massa di Amerika yang menjelaskan kedekatan antara seorang anak dengan orangtuanya dapat menjadi kontrol yang bersifat latent terhadap si anak yang pada gilirannya mampu mencegah perilaku menyimpang pada anak di luar lingkungan keluarga. Selain itu tersedianya buku dan bacaan yang mendidik dan relevan tentang konsekuensi seks pranikah dan berbagai akibat PMS di rumah yang dapat diakses oleh anak remaja (tentunya masih tetap dibawah bimbingan orang tua) diyakini juga dapat mengurangi penyebaran HIV/AIDS dan penambahan pengetahuan remaja tentang berbagai bahaya dan perilaku seks bebas.


Rujukan :

Adrina dkk, Hak-Hak Reproduksi Perempuan Yang Terpasung, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.

Anonim, Aborsi dan Kebungkaman Perempuan, Majalah Embrio No.1 Tahun I, Maret 1998

Lola Wagner dan Danny Irawan Yatim, Seksualitas di Pulau Batam, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1997

V. Packard, The Sexual Wilderness, Pan Book Ltd, London 1970.

Warta Demografi, LD-UI, Ke 28, No.2, 1999

BAHASA IBU AKANKAH SEMAKIN PUNAH ?


Publikasi Harian Riau Pos, 23 Mei 2003
Oleh : Achmad Hidir,


  1. Asal-Mula Munculnya Bahasa.

Asal mula munculnya bahasa dalam kehidupan manusia, sulitlah ditebak kapan waktunya dan bilamana hal itu muncul ?. Sampai saat ini masih teka-teki. Namun para ahli antropologi memiliki keyakinan munculnya bahasa sebagai lambang bunyi yang memiliki arti adalah ketika nenek moyang manusia harus meninggalkan pohon-pohonan dalam hutan ke alam terbuka di savana padang rumput. Dalam lingkungan yang baru ini nenek moyang manusia menghadapi bahaya yang lebih banyak, yang menuntut daya penyesuaian yang lebih dari mereka demi kelangsungan hidupnya­.

Konon ketika itu, kawanan kera yang berdiri tegak (pithe-chantropus erectus) itu sudah mulai hidup di tanah dan berkelompok sehingga memunculkan pembagian kerja di antara mereka. Selanjutnya diyakini oleh para antropolog, munculnya bahasa itu seiring dengan mulai beralihnya fungsi rahang dan taring ke arah semakin berfungsinya tangan untuk bekerja, selain itu berfungsinya tangan untuk bekerja mempengaruhi kemampuan otak (cerebrum dan neocortex) yang semakin membesar yang mampu merekam berbagai memori.

Kemampuan merekam memori ini, karena kera yang berdiri tegak itu memiliki keuntungan anatomis yang tidak terdapat pada kera-kera lainnya. Keuntungan yang paling berhubungan langsung dengan kemampuan berbahasa di kemudian hari adalah bentuk rahang yang memungkinkan gerak bibir lebih leluasa, sehingga dengan mulut mereka dapat menimbulkan bunyi yang banyak variasinya. Demikian juga dengan kemampuannya untuk berdiri tegak dengan kaki, telah memungkinkan mereka untuk dapat melihat lebih jauh sehingga mereka dapat menangkap gejala-gejala bahaya dari suatu jarak tertentu.

Selanjutnya kata-kata lisan pertama barangkali bertalian erat dengan suara-suara yang ke luar dari mulut mereka sebagai respon bila mereka melihat bahaya. Melalui peniruan yang mungkin mula-mula tak sengaja, tapi kemudian terus dikembangkan maka kemudian suara-suara itu mulai mengandung arti dan dipakai sebagai isyarat umum.

Proses perkembangan dalam menjadikan suara tertentu sebagai simbol untuk benda-benda tertentu berjalan lambat. Namun sampai taraf tertentu kemudian perkembangannya mengalami percepatan yang luar biasa. Sama halnya dengan yang dialami oleh seorang anak kecil ketika belajar bicara, ketika ia menyadari bahwa segala sesuatunya itu mempunyai nama dan dapat diberi nama, maka kemampuan bahasanya akan meningkat dengan cepat.

Kemampuan berbahasa ini selanjutnya amat memperbesar kemampuan kualitatif otak manusia purba. Secara genetis perkembangan ini tercermin dalam pertumbuhan neo-cortex (otak depan), yang menyebabkan ukuran otak menjadi lebih besar pada manusia-manusia yang lebih maju kemudian Kemampuan berbahasa ini mencerminkan pula kemajuan akan kemampuan manusia untuk mengembangkan budayanya, seni, teknologi, dan lebih daripada itu adalah sosialisasi.

Dari sini kemudian kemajuan tehnologi dan kebudayaan semakin berkembang pesat sehingga meninggalkan taraf kema­juan mahluk lain yang ada. Sebagai dampak adanya satu kemampuan manusia akibat perkembangan bahasa yang ia miliki.



2. Variasi Bahasa dan Bahasa Ibu

Proses persebaran bahasa sangat dipengaruhi dengan proses persebaran ras. Hal ini karena persebaran ras telah menyebabkan perbedaan bahasa karena adanya proses disvergensi yang dipengaruhi oleh alam lingkungan dan isolasi geografis.

Bahwa kemudian manusia menggunakan bunyi-bunyi tertentu dan disusun dengan cara tertentu pula adalah secara kebetulan saja dan semuanya bersifat suka-suka (arbitrer). Dengan demikian maka terjadinyalah perbedaan antara bahasa satu dengan bahasa lainnya. Sebagai misal, bulan adalah bulan dan dari dulu bulan itu hanya ada satu di angkasa, tetapi kenapa kemudian manusia memberikan nama yang berbeda-beda untuk benda yang bernama “ bulan “. Sebagai contoh; orang Indonesia menyebutnya Bulan, orang Jawa menyebutnya Wulan, Orang Jepang menyebutnya Tsuki, orang Perancis La lune, orang Inggris The Moon, Orang Jerman Monat dan lain sebagainya. Pada hal obyeknya sama, yaitu sebuah benda planet.

Proses arbitrer dan disvergensi inilah yang lambat laun memberikan andil variasi bahasa dan pembentukan bahasa daerah (suku atau bangsa) di kemudian hari.

Indonesia tercatat sebagai negara kedua yang paling banyak memiliki bahasa ibu setelah Papua New Guinea. Secara total jumlah bahasa ibu di Indonesia ada 706 sedangkan untuk Papua New Guinea sejumlah 867 bahasa ibu. Dari 706 rumpun bahasa ibu yang ada di Indonesia separuhnya berada di Papua (Kompas, 13 Februari 2003). Hal ini wajar sebagaimana diungkap oleh A.F. Tucker (1987) bahwa di pedalaman Irian (Papua) memang banyak sekali variasi subsukunya. Sebagai contoh; untuk orang Sentani saja sukunya terbagi dalam tiga dialek bahasa, yaitu; bahasa Sentani barat, timur dan tengah. Orang Sentani Timur sering juga dikenal dengan orang Hedam. Demikian juga untuk orang Dani, terbagi dalam berbagai subsuku, ada Dani Baliem, Yamo, Toli, dan Sipak yang kesemuanya itu ternyata memiliki variasi bahasa.

3. Kearah Kepunahan Bahasa Ibu.

Diyakini bahwa untuk bahasa-bahasa ibu beberapa tahun ke depan akan semakin punah dan hilang. Menurut data UNESCO setiap tahun ada sepuluh bahasa daerah yang punah. Pada akhir abad 21 ini diperkirakan laju kepunahan akan lebih cepat lagi. Menurut laporan Kompas 13 Februari 2003, diantara 6.000 bahasa yang ada di dunia, hanya akan ada 600-3000 bahasa saja lagi yang ada menjelang akhir abad 21 ini. Dari 6000 bahasa daerah itu, sekitar separuhnya adalah bahasa yang dengan jumlah penuturnya tidak sampai 10.000 orang. Pada hal salah satu syarat lestarinya bahasa adalah jika jumlah penuturnya mencapai 100.000 orang.

Bukti-bukti akan adanya kepunahan bahasa ibu di Indonesia adalah dari jumlah 109 bahasa daerah yang ada, ternyata jumlah penuturnya sudah kurang dari 100.000 orang, misalnya bahasa Tondano (Sulawesi), Ogan (Sumsel), dan Buru (Maluku). Bahkan menurut laporan Kompas November 2002 lalu, melaporkan bahwa untuk jumlah penutur bahasa sunda di Bandung (bukan di Jawa Baratnya) jumlah penutur bahasa sunda menurun jumlahnya. Karena imbas urbanisasi dan banyaknya migrasi masuk multi etnik dan kontak dengan budaya lain. Selain juga ada kecenderungan baru di mana untuk kelas menengah baru sudah enggan menggunakan bahasa daerah yang terkesan kuno.

Bagaimana dengan di Riau ?. Menurut UU Hamidy (1991) jumlah masyarakat terasing di Riau cukup banyak variasinya. Dan masih menurutnya bahwa untuk kasus masyarakat terasing di Indonesia cukup sulit untuk ditaksir, namun jika diperkirakan tahun 1987 ditaksir 1,2 juta jiwa dan setiap keluarga ditaksir ada 4 jiwa, maka diperkirakan jumlah mereka 240.000 KK. Kemudian lagi bila diperkirakan pertumbuhannya 1 % saja pertahun maka dalam tahun 1991 ditaksir akan berjumlah 1,5 juta jiwa (300.000 KK). Lalu bagaimana untuk keadaan tahun 2003 ?. Sejauh ini memang penulis belum memperoleh data untuk itu (mungkin saja datanya sudah ada).

Namun bila mengacu pada teori antropologi, di mana dinyatakan bahwa dalam masyarakat yang cenderung nomad (selain juga karena kemiskinannya) seringkali pertumbuhannya menjadi terhambat dan kadangkala terbawa oleh genetical drift yang kurang menguntungkan sehingga lambat laun populasinya semakin mengecil untuk kemudian akhirnya punah. Contoh untuk kasus itu sudah ada, sebut saja misalnya; orang Ainu di Jepang, Aborigin di Australia atau orang Indian di Amerika yang hampir mendekati kepunahan.

Oleh sebab itu di Indonesia, momentum peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang dicanangkan tanggal 21 Februari setiap tahunnya, untuk pertama kalinya turut diperingati berupa pertemuan nasional tanggal 19 Februari 2003 di Jakarta. Momen ini dianggap penting karena para ahli bahasa tampaknya sepakat bahwa bahasa daerah harus dilestarikan secara seimbang dengan bahasa nasional. Karena keberadaan bahasa daerah merupakan ciri jati diri bangsa dan suku yang ada di Indonesia. Selain muatan lokal dalam mata pelajaran yang perlu dikembangkan juga, perlu peran serta keluarga dalam mensosialisasikan pengenalan bahasa ibu dalam usia dini terhadap anak-anaknya.

Diyakini pembekalan dua bahasa (bilingual) atau lebih (multilingual) terhadap anak sejak dini merupakan langkah strategis untuk membentuk pribadi yang toleran dan santun, selain menyelamatkan bahasa daerah dari ancaman kepunahan.



SOSIOLOGI-ANTROPOLOGI

SARANA KREASI DAN BERDIALOG DENGAN SESAMA NETTER DAN PENCINTA SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI DI INDONESIA. SILAKAN ANDA KIRIM KOMENTAR DAN SARAN KE BLOGER SAYA DAN EMAIL SAYA. TERIMA KASIH

Entri Populer

MARI BERGABUNG DAN DISKUSI YUK !!!

BAGI PENCINTA DAN PEMINAT SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI BOLEH MENGUTIP POSTING DI SINI. ASALKAN MENYEBUTKAN SUMBERNYA YA !!!

APA KOMENTAR ANDA DENGAN BLOG INI ?


Perkenalan

Suka duka jadi seorang antropolog lebih banyak sukanya, karena lebih banyak mengenal masyarakat dengan berbagai karakteristik dan keragaman mereka.


Siapa bilang mereka adalah masyarakat bodoh .......mereka justru adalah masyarakat yang pintar, arif terhadap lingkungan dan taat dalam menjalankan norma adat mereka.

Bekal ini digunakan untuk menyebarluaskan kearifan mereka di tengah masyarakat modern, yang katanya paling hebat. Tapi nyatanya.........???????

Potret Masyarakat Pesisir

Potret Masyarakat Pesisir

Pembangunan PLB

Pembangunan PLB

PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP POLITIK

1. Pengantar

Sejarah perkembangan partisipasi dan partai politik di Indonesia sangat mewarnai perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini sangat mudah dipahami, karena partai politik dan partisipasi politik merupakan gambaran wajah peran rakyat dalam percaturan politik nasional atau dengan kata lain merupakan cerminan tingkat partisipasi politik masyarakat. Romantika kehidupan partai politik sejak kemerdekaan, ditandai dengan bermunculannya banyak partai (multi partai). Secara teoritikal, makin banyak partai politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara. Banyaknya alternatif pilihan dan meluasnya ruang gerak partisipasi rakyat memberikan indikasi yang kuat bahwa sistem pemerintahan di tangan rakyat sangat mungkin untuk diwujudkan. Sebagaimana diketahui bahwa konflik memang sangat diperlukan untuk menumbuhkan kompetisi antarkontestan dan sekaligus menarik motivasi masing masing untuk melakukan koreksi, berbenah diri, dan mengejar ketinggalan dalam rangka memenangkan persaingan dalam merebut hati rakyat.

Pada gilirannya akan terjadi proses belajar dan proses pertumbuhan secara terus menerus menuju kearah lebih maju, lebih baik, dan lebih mensejahterakan rakyat. Namun bila kepentingan-kepentingan cenderung bersifat divergen dan kesadaran politik serta toleransi politik belum cukup memadai, maka banyaknya partai politik bisa menimbulkan keadaan makin meruncingnya perbedaan dan memperparah keruwetan, yang berimplikasi pada sulitnya manajemen politik untuk memelihara konflik pada tingkatan yang optimal. Dengan premis seperti itulah, maka pemerintah orde baru merasakan perlu untuk mereduksi partai politik agar menjurus ke dalam bentuknya yang lebih sederhana. Menurut jalan pemikirannya, tujuan yang ingin dicapai adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi makin berperannya partai politik di satu segi dan makin mudahnya pengendalian konflik dikala mencapai tingkatan yang dianggap membahayakan persatuan dan mengganggu jalannya pembangunan nasional pada segi yang lain. Oleh karena itulah, maka kemudian berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1975, partai politik yang semula jumlahnya cukup banyak direduksi menjadi tiga kekuatan politik saja, yaitu menjadi dua partai politik dan satu golongan karya (Golkar).

Patut diduga sebelumnya, bahwa rupanya upaya penyederhanaan partai politik lebih berat perkembangannya pada pengendalian konflik yang makin lama makin ketat dan melampaui batas toleransi yang sewajarnya bagi perkembangan partai politik. Pemerintah, terutama eksekutif makin kuat secara berlebihan dan partai politik makin lemah kekuasaannya sampai pada posisi yang tidak berdaya. Dalam kondisi seperti ini, jangankan dapat memainkan perannya untuk peningkatan partisipasi politik masyarakat, untuk bertahan hidup saja barangkali harus dengan bantuan pihak lain yang lebih memiliki kekuasaan. Implikasi selanjutnya, mudah diterka bahwa masyarakat dan rakyat tidak berdaya di satu sisi, dan kolusi, korupsi, dan nepotisme negatif merajalela tanpa hambatan dan makin lama makin tak terkendali.

Menyadari keadaan yang sangat distruktif bagi perkembangan negara dan bangsa, maka lahirlah gerakan reformasi yang tujuannya tidak lain untuk menghambat dan menghentikan proses dan praktik-praktik yang distruktif dan menggantinya dengan tatanan, proses, dan praktik-praktik yang konstruktif bagi perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara. Selanjutnya gerakan reformasi berubah bentuknya secara lebih sistematik menjadi agenda nasional. Sejalan dengan upaya reformasi yang merupakan agenda nasional yang kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Undang- undang No. 3 Tahun 1999, kehidupan kepartaian berubah kembali dengan kehidupan multi partai dan telah melahirkan 147 partai politik. Dengan mencermati uraian tersebut di atas, sangat mudah dimengerti bahwa ternyata sepak terjang peran partai politik sejak kemerdekaan sampai saat ini mengalami pasang dan surut dalam pembangunan bangsa khususnya peningkatan partisipasi politik masyarakat di dalam segenap aspek kehidupan pembangunan nasional. Peran partai politik yang bersifat pasang surut tersebut terutama dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat terlihat dalam pasang surutnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutment politik, dan sarana pengaturan konflik; karena keempat peran itu diambil alih oleh pemerintah khususnya eksekutif yang didukung oleh legislatif dan yudikatif.


2. Konsep Partai dan Partisipasi Politik.

Sistem politik demokrasi modern adalah sistem demokrasi perwakilan yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan partai politik. Di negara demokrasi, partai politik adalah suatu keniscayaan karena berkaitan erat dengan kemunculan lembaga-lembaga perwakilan sebagai sarana politik untuk mewujudkan aspirasi rakyat. Prinsip pemerintahan demokrasi, yakni "oleh rakyat" diwujudkan dengan adanya partai politik dan "dari rakyat" dapat diukur dari hasil pemilihan umum yang bersifat umum, langsung, bebas, rahasia, dan adil. Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan tentang kemunculan partai politik.

  1. Teori kelembagaan. Teori itu menyatakan bahwa munculnya partai politik karena dibentuk oleh kalangan legislatif untuk mengadakan kontak dengan masyarakat.

  2. Teori situasi historis yang menyatakan bahwa adanya partai politik sebagai jawaban untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan oleh perubahan masyarakat secara luas berupa krisis legitimasi, integrasi, dan partisipasi.

  3. Teori pembangunan yang mengungkapkan bahwa kelahiran partai politik merupakan hasil produk modernisasi sosial ekonomi.

Selanjutnya kemunculan partai politik setidaknya memiliki lima fungsi politik yang sangat penting.

  1. Sarana sosialisasi politik di mana partai melakukan kegiatan dalam proses pembentukan sikap dan orientasi politik masyarakat.

  2. Sarana komunikasi politik, yakni peran parpol sebagai agen penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah.

  3. Rekrutmen politik di mana parpol melakukan seleksi dan pengangkatan individu atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peran dalam sistem politik.

  4. Pengelola konflik. Yaitu parpol berfungsi untuk mengendalikan konflik melalui cara-cara dialog, menampung, dan memadukan aspirasi maupun kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik.

  5. Artikulasi dan agregasi kepentingan politik di mana parpol memiliki peran penting dalam menyalurkan aspirasi dan kepentingan pemilihnya.

Sekarang masalahnya adalah; sejauhmanakah keterlibatan masyarakat dalam kegiatan partai politik ?. Dan bagaimana pula bentuk partisipasi politiknya ?.

Untuk kasus dewasa ini, memasuki lembaga legislatif mau-tidak mau harus melalui partai politik. Keterlibatan dalam partai politik adalah juga bentuk dari partisipasi politik. Berbicara tentang keterlibatan atau partisipasi politik, tentu saja kita tidak dapat menghindarkan diri dari diskusi tentang partisipasi politik menurut disiplin ilmu politik. Mely G. Tan (1992) dalam Yulfita (1995) membedakan partisipasi politik dalam dua aspek, yaitu dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit berupa keikutsertaan dalam politik praktis dan aktif dalam segala kegiatannya, sedangkan dalam arti luas, berupa keikutsertaan secara aktif dalam kegiatan yang mempunyai dampak kepada masyarakat luas, mempunyai kemampuan, kesempatan, dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan yang mendasar yang menyangkut kehidupan orang banyak. Budiardjo (1981) menyatakan partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memiliki pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.

Kalau Huntington dijuluki sebagai bapaknya partisipasi politik, maka David Easton dapat pula dijuluki sebagai bapaknya teori sistem politik. Analisa teori sistem politik David Easton, memang paling mudah untuk dicermati - dalam kerangka sistem politik yang demokrasi, sebab alur pikirnya sangat sederhana, tetapi kegunaannya sangat luar biasa. Dalam teorinya yang sederhana, yakni ;

-->- input --> proses --> output -->-
|----------------------------------|
|
----------------------------------|
--<---------- Masyarakat ---------<--


Melihat proses tersebut di atas, dapat diasumsikan, seorang penguasa mengeluarkan (output) peraturan atau prundang-undangan, sampai di masyarakat, masyarakat bisa setuju atau sebaliknya tanggapanya (input), akan diproses kembali oleh sang penguasa untuk kemudian dikeluarkannya kembali peraturan yang dapat diterima oleh masyarakat. Dan demikian selanjutnya.

Dalam teori ini ada dua ciri pelaku partisipasi politik, yang membedakan seseorang berpartisipasi dalam politik, yakni :

  1. Yang dimobilisasikan

  2. Otonom
    Sikap politik pada kelompok pertama (yang dimobilisasikan), biasanya tampak orang tersebut sangat fanatik. Karena orang tersebut, hanya sok-sok an, sehingga yang ia tahu hanya berpihak, berpihak dan berpihak. Sedangkan strategi untuk memenangkannya - karena ia memang tidak paham, hanyalah melawan orang atau kelompok di luar dirinya, atau di luar kelompoknya.

Lain halnya dengan orang-orang yang mempunyai sikap otonom, biasanya mereka mengikutinya dengan seksama, menganalisanya, baik buruknya dari partai yang ingin ia dukung. Sehingga sikap otonom ini sangat sukar dipengaruhi untuk menjadi ugal-ugalan.

Pertanyaannya, siapakah diri Anda, apakah Anda kelompok pertama atau kedua?. Yang perlu kita ketahuai adalah, apakah kita sudah mempunyai kedewasaan berpolitik, atau belum?.

Khusus berkaitan dalam bidang partisipasi politik, menurut Rush dan Althoff (1983) untuk dapat melihat sejauhmana keikutsertaan seseorang dalam kegiatan politik dapat dilihat dari hierarki partisipasi politik yang dilakukannya. Hierarki partisipasi politik itu dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 1.1

Hierarki Partisipasi Politik



Menduduki Jabatan politik dan administratif



Mencari jabatan politik atau administratif



Keanggotaan aktif suatu organisasi politik



Keanggotaa pasif suatu organisasi politik



Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik



Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik



Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, kampanye dan sebagainya


Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum


Pemberian suara (voting)

Sumber: Rush dan Althoff, 1983


Masih menurut Rush dan Althoff (1983) hierarki partisipasi yang berupa tingkatan itu, bukanlah merupakan prasyarat bagi jenis partisipasi suatu tingkatan berikutnya, walaupun mungkin berlaku bagi tipe-tipe partisipasi tertentu. Kemudian dari skema itu tampak bahwa bila hierarki partisipasi politik semakin naik, maka semakin mengecil volumenya, ini artinya bahwa; jenis partisipasi semakin ke atas semakin sedikit jumlahnya untuk diikuti oleh setiap individu.

Kemudian selain itu, banyak teori dan pendapat dari para ahli politik dan sosial yang mengatakan; karakteristik sosial seseorang, seperti status sosial ekonomi, kelompok ras atau etnik, usia, seks dan agama, baik mereka hidup di kota atau di pedesaan, semuanya akan mempengaruhi partisipasi politiknya. Dengan demikian, faktor seks, pendidikan dan geografis (desa-kota) tampaknya juga sangat berpengaruh dalam bentuk partisipasi politik. Pendapat ini didukung oleh Almond dan Verba, yang pernah melakukan penelitian dengan membandingkan seks dan jenjang pendidikan di beberapa negara, hasilnya mereka menyimpulkan:


Tabel 1.1

Keanggotaan Organisasi Sukarela dilihat dari Seks dan Pendidikan


Karakteristik

AS

Inggris

Jerman

Italia

Meksiko

%

%

%

%

%

Pria

68

66

66

41

43

Wanita

47

30

24

19

15

Pendidikan dasar atau kurang

46

41

41

25

21

Sedikit pendidikan lanjutan

55

55

63

37

39

Sedikit pendidikan universitas

80

92

62

46

68

Sumber : Almond dan Verba, 1963


Kesimpulan dari kajian Almond dan Verba (1963) ini tampak bahwa; pria lebih cenderung menjadi anggota organisasi sukarela daripada perempuan, dan partisipasinya bertambah dengan pertambahan pendidikan. Almond dan Verba (1963) juga mencatat bahwa; status pekerjaan yang lebih tinggi pada umumnya melibatkan keanggotaan asosiasi sukarela, walaupun hubungannya tidak seerat antara pendidikan dan afiliasi.

Asumsi konservatif yang diungkap oleh Almond dan Verba (1963), Russett (1964) serta Rush dan Althoff (1983) ini yang menjelaskan bahwa partisipasi politik sangat tergantung pada status sosial ekonomi sebagaimana dikutip di atas telah dipatahkan dalam kasus perempuan buruh pabrik garmen PT. Tongkyung Makmur Abadi di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Jakarta. Hasil penelitian disertasi Nurul Aini1 (61) ini memperlihatkan adanya partisipasi otonom dari buruh yang umumnya berstatus sosial ekonomi rendah. Menurut Nurul Aini dalam disertasi doktornya, mengatakan bahwa partisipasi politik muncul karena tekanan dan perlakuan tidak adil yang terus-menerus diterima dari pengusaha dan dilandasi kesadaran akan hak-hak yang harus diperjuangkan.

Bila asumsi hasil penelitian Nurul Aini itu benar maka kajian ini telah merontokkan asumsi konservatif lama tentang partisipasi politik yang selalu mengkaitkan dengan domisili desa-kota dan tinggi-rendahnya status sosial ekonomi.

Kemudian bila berbicara masalah partisipasi politik, partisipasi politik dapat diartikan sebagai keterlibatan (involvement) terhadap kehidupan politik yang diwujudkan dalam bentuk tindakan (action) dan dilakukan secara sukarela (voluntary). Dalam studi partisipasi politik, partisipasi politik juga seringkali didefinisikan sebagai tindakan —bukan keyakinan atau sikap— warganegara biasa, bukan elite politik, untuk mempengaruhi keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik, bukan suatu kelompok masyarakat keagamaan tertentu, dan dilakukan secara sukarela, bukan dipaksa.

Partisipasi politik bukanlah sejenis kepercayaan atau keimanan, tapi juga bukan sikap seseorang terhadap sesuatu. Partisipasi politik membutuhkan tindakan individu. Ia telah mencapai pada level psikomotorik seseorang yang diwujudkan dengan perbuatan, bukan lagi pada level kognitif dan afektif. Kemudian secara sederhana, jenis partisipasi politik terbagi menjadi dua:

  1. Partisipasi secara konvensional di mana prosedur dan waktu partisipasinya diketahui publik secara pasti oleh semua warga.

  2. Partisipasi secara non-konvensional. Artinya, prosedur dan waktu partisipasi ditentukan sendiri oleh anggota masyarakat yang melakukan partisipasi itu sendiri .

Jenis partisipasi yang pertama, terutama pemilu dan kampanye. Keikutsertaan dan ketidakikutsertaan dalam pemilu menunjukkan sejauhmana tingkat partisipasi konvensional warganegara. Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap masalah-masalah publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara golput.

Sementara bentuk partisipasi politik yang kedua biasanya terkait dengan aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi demokrasi, dan karenanya, menyalurkannya melalui protes sosial atau demonstrasi. Wujud dari protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot, mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas umum. Selain itu, partisipasi politik dapat pula mengambil bentuk yang aktif dan yang pasif; tersusun mulai dari menduduki jabatan dalam organisasi sedemikian rupa, sampai kepada memberikan dukungan keuangan dengan jalan membayar sumbangan atau iuran keanggotaan. Kegiatan pemberian suara dapat dianggap sebagai bentuk partisipasi politik aktif paling kecil (lihat gambar 1.1), karena hal itu menuntut suatu keterlibatan minimal, yang akan berhenti jika pemberian suara telah terlaksana.

Selain membicarakan masalah partisipasi politik aktif, ada baiknya juga perlu dijelaskan macam-macam alasan mereka tidak ikut serta dalam kegiatan politik. Ketidakikutsertaan mereka ini, dapat disebabkan oleh alasan yang berbeda-beda. Penyebab ketidakikutsertaan mereka ini dapat disebabkan:

  1. Apati (masa bodoh), secara sederhana diartikan sebagai tidak punya minat atau perhatian terhadap orang lain, situasi atau gejala-gejala disekitarnya. Mengapa mereka memiliki sikap apatis, paling tidak ada 3 alasan pokok untuk menerangkan adanya apatis:

    1. Adanya konsekuensi yang ditanggung dari aktivitas politik. Hal ini dapat mengambil beberapa bentuk: individu dapat merasa, bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai aspek kehidupannya. Umpamanya; aktivitas politik yang ia ikuti dikuatirkan akan dapat mengancam eksistensi keluarganya; posisi sosialnya akan terganggu atau rusak dan lain sebagainya.

    2. Adanya anggapan aktivitas politik yang dilakukannya hanya akan sia-sia saja. Sebagai individu tunggal ia tidak mampu mempengaruhi iklim politik, ia merasa bahwa kekuatan politik selalu berada di luar kontrol dirinya sehingga apapun yang ia lakukan dianggap hanya akan sia-sia saja.

    3. Kehidupan politik dianggap kurang begitu memuaskan, partisipasi politik dianggap sebagai hasil yang sama sekali tidak layak bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan kebutuhan materinya.

  2. Sinisme, seperti halnya apati, meliputi kepasifan dan ketidak aktifan relatif, merupakan satu sikap yang dapat diterapkan baik pada aktivitas maupun ketidak aktifan. Secara politis sinisme menampilkan diri dalam bentuk; perasaan bahwa politik itu kotor, menjadi politisi itu tidak dapat dipercaya dan lain sebagainya.

  3. Alienasi politik sebagai perasaan keterasingan seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan kecenderungan berfikir mengenai pemerintahan dan politik bangsa, yang dilakukan oleh orang lain untuk orang-orang lain, mengikuti sekumpulan aturan-aturan yang tidak adil. Dianggapanyalah bahwa kegiatan politik yang dilakukan oleh penguasa hanya menguntungkan mereka saja, tetapi tidak bagi dirinya.

  4. Anomie, perasaan kehilangan nilai dan ketiadaan arah, dalam mana individu mengalami perasaan ketidak efektifan dan bahwa para penguasa bersikap tidak perduli yang mengakibatkan devaluasi daripada tujuan-tujuan dan hilangnya urgensi untuk bertindak.


3. Kegunaan partisipasi politik dalam kehidupan sehari-hari

Khusus di bidang politik, masih ada anggapan bahwa dunia politik itu identik dengan dunia maskulin dan penuh intrik. Anggapan ini muncul akibat adanya “image“ yang tidak sepenuhnya tepat tentang kehidupan politik; yaitu bahwa politik itu kotor, keras, penuh intrik, dan semacamnya, yang diidentikkan dengan karakteristik laki-laki. Selain itu pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik juga cenderung masih rendah. Akibatnya, jumlah masyarakat yang terjun di dunia politik kecil, termasuk di negara-negara yang tingkat demokrasinya dan persamaan hak asasinya cukup tinggi. Sebenarnya partisipasi politik masyarakat sangat penting berkaitan dengan:

  1. Partisipasi politik masyarakat dapat diarahkan untuk mengubah keputusan-keputusan penguasa, juga menggantikan atau bahkan mempertahankan suatu kekuasaan.

  2. Dalam bentuk institusi, partisipasi politik dapat diarahkan untuk mengubah ataupun mempertahankan organisasi sistem politik yang sudah ada, beserta aturan-aturan permainan politiknya.

Selain apa yang dijelaskan di atas, ada beberapa faktor Pendukung dan Penghambat Terhadap Peran Partai Politik dalam Peningkatan Partisipasi politik Masyarakat. Faktor-faktor pendukung bagi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:

  1. Masih diterimanya Pancasila serta pembukaan UUD 1945 dan keinginan untuk mengamandemen UUD 1945 merupakan wujud kesadaran berpolitik yang berakar kepada demokratisasi;

  2. Masih berjalan dan kuatnya struktur politik dengan semakin mantapnya kearah demokratisasi;

  3. Makin tingginya kesadaran politik masyarakat, ditunjukkan dengan pelaksanaan pemilu yang berlangsung aman, langsung, umum, bebas dan rahasia; dan

  4. Masih tingginya atensi politik terhadap penyelenggaraan kepemimpinan nasional, menunjukkan sikap mengarah kedewasaan berpolitik.

Faktor-faktor penghambat bagi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat antara lain yang terpenting adalah:

  1. Masih kurang ditaatinya peraturan, perundangan tentang mengeluarkan pendapat dan berkumpul serta masih diragukannya RUU KKN walaupun sudah diperbaiki dan disempurnakan;

  2. Kurangnya dilaksanakan dalam sikap dan tindakan yang lebih mengutamakan kepentingna nasional, dapat mengakibatkan melesetnya arah ketujuan nasional;

  3. Proses demokrasi dengan partai yang sangat banyak dapat memungkinkan lambatnya proses politik;

  4. Kemenangan pro kemerdekaan di Timor Timor menyebabkan suhu politik semakin hangat, ditambah masalah Aceh dan Ambon yang belum tuntas menyebabkan elit politik menggunakan suasana tersebut untuk mendapatkan keuntungan bukan justru memecahkan permasalahan;

  5. Masih adanya ide sparatis yang justru timbul pada saat situasi politik dan ekonomi lemah, serta dihadapkannya TNI dan Polri dalam front politik serta keamanan yang sangat luas.

Sedangkan faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat dapat diidentifikasikan antara lain:

  1. Faktor Sosial Ekonomi ; Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.

  2. Peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :

    1. Komunikasi Politik, antara pemerintah (parpol) dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika

    2. Kesadaran Politik, menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik. Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan.

    3. Pengetahuan Masyarakat terhadap Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil

    4. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu. Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik, kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat, untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan politik .

  3. Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik individu sebagai sumber kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaganya.

  4. Faktor Budaya, Budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, etika politik maupun teknik penerapannya. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.


4. PENUTUP.

Beberapa permasalahan penting yang sekiranya dapat diangkat sebagai suatu deskripsi indikatif yang merupakan titik-titik tegas dari keseluruhan substansi yang dibahas antara lain adalah:

  1. Peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat khususnya peran sebagai wadah penyalur aspirasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen, dan sarana pengatur konflik masih belum optimal. Dalam rangka untuk mengoptimalkan peran partai politik tersebut telah disampaikan konsepsi penguatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat, antara lain melalui pembangunan sistem kehidupan yang demokratis dan stabil yang dijabarkan dalam strategi pengembangan partisipasi politik masyarakat dan pembenahan mekanisme hubungan antar komponen dalam sistem politik; dan dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk upaya restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik dan berbagai aspek yang terkait.

  2. Untuk menjamin berjalannya peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat secara optimal, diperlukan keselarasan dan keseimbangan hubungan antar kekuatan sosial politik dan keseimbangan serta keselarasan peran partai politik itu sendiri baik sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, maupun sebagai sarana pengatur konflik. Hal yang terakhir ini perlu digaris bawahi karena keempat peran tersebut pada hakikatnya saling terkait dan bersifat saling mendukung satu dengan yang lain.

  3. Prospek perkembangan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat sangat tergantung pada kondisi politik secara makro dan tingkat kedewasaan elit politik dalam memainkan perannya sebagai penggerak dan pengorganisasi komponen komponen politik dan kemasyarakatan. Tingkat kesadaran politik rakyat yang sudah cukup tinggi yang terrefleksi dari keberhasilan dalam pelaksanaan Pemilu secara jurdil, luber, dan aman; tidak boleh diposisikan pada situasi yang justru mengakibatkan berbaliknya ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik. Sebab hal itu akan sangat menyulitkan dalam upaya peningkatan peran partai politik dalam peningkatan partisipasi politik masyarakat.

  4. Dalam rangka penguatan peran partai politik untuk peningkatan partisipasi politik masyarakat, harus didahului atau terlebih dahulu harus diberdayakan partai politik itu sendiri dalam kancah percaturan politik nasional dengan menempatkannya pada posisi yang kuat dan memiliki daya tawar yang cukup memadai. Caranya adalah dengan restrukturisasi, refungsionalisasi, dan revitalisasi partai politik baik yang menyangkut struktur, mekanisme, budayanya, serta kapasitasnya dalam melakukan fungsinya sebagai saluran komunikasi politik.


Daftar Rujukan.

Arbi Sanit, Ormas dan Politik, Lembaga Studi Informasi dan Pembangunan, Jakarta, 1995

Bruce M Russett, et al. World Bank Hand Book of Political and Social Indication, New Haven, Conn, 1964.

Gabriel A. Almond dan Sydney Verba, The Civic Culture, Princeton, 1963

Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, alih bahasa Kartini Kartono, CV Rajawali Jakarta, 1983

Morris Rosenberg, Some Determinant of Political Apathy, Public Opinion Quarterly, 1954 349-366

Samuel P Huntington dan Joan M.Nelson, Partisipasi Politik Tak Ada Pilihan Mudah, PT. Sangkala Pulsar, Jakarta, tanpa tahun.


1 Anonim, Status Sosial Ekonomi Tidak Pengaruhi Partisipasi Politik, Harian Kompas 2 Agustus 2002